Jumat, 25 Oktober 2013

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN NASIONAL



Add caption

Add caption



By: Nambeen & Halimatus

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA
PEMBANGUNAN NASIONAL


A. Pendahuluan
Pancasila adalah dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7bersama-sama dengan batang tubuh  UUD 1945.
Dalam perjalanan sejarah eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami berbagai macam interprestasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi negara Pancasila.
Dampak yang cukup serius atas manipulasi Pancasila oleh pra penguasa pada masa lampau, dewasa ini banyak kalangan elit politik serta sebagian masyarakat beranggapan bahwa Pancasila adalah label politik Orde Baru. Bukti yang secara objektif dapat disaksikan adalah erhadap hasil reformasi yang telah empat tahun berjalan, belum menampakkan hasil yang dapat dinikmati oleh rakyat, nasionalisme bangsa rapuh sehingga martabat bangsa Indonesia dipandang rendahdi masyarakat Internasional.
Oleh karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan persepsi rakyat yang keliru tersebut kearah cita-cita bangsa bagi bangsa Indonesia dalam hidup bernegara.  







B. PENGERTIAN PARADIGMA
            Paradigma ialah cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masyarakat tertentu . karena itu, pancasila harus dijadikan paradigma dalam melaksanakan pembangunan nasionl, yaitu sebagai landasan, auan, metode, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai.

C. MAKNA DAN HAKIKAT PEMBANGUNAN NASIONAL
            Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
            Hakikat pembangunan nasional adalah pembngunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan Pancasila sebagai dasar tujuan, pedoman pembangunan nasional UUD 1945 dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana yang aman, tentram, tertib serta dinamis dan dalam lngkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.

D. ASAS PEMBANGUNAN NASIONAL
  1. Asas Manfaat; segala usaha dan kegiatan pembangunan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dan bagi pengembangan pribadi warga negara.
  2. Asas usaha bersama kekeluargaan; usaha mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia haruh merupakan usaha bersama seluruh rakyat Indonesia secara gotong royong dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
  3. Asas demokrasi; demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang politik, sosial, ekonomi dan penyelesaian masalah nasional berusaha semaksimal mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat.
  4. Asas keadilan dan merata; hasil-hasil material dan spritual yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati merata oleh seluruh bangsa Indonesia dan setiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang diperlukan, sesuai dengan darma bakti yang diberikan kepada bangsa dan negara.
  5. Asas perikemanusiaan dan keseimbangan; keseimbangan antara kepentingan-kepentingan keduniawian dan akhirat, antara material dan spritual, antara kepentingan jiwa dan raga, antara kepentingan individu dan masyarakat, antara perikehidupan laut dan darat, udara serta antara kepentingan nasional dan internasional.[1]

1. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek
            Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakekatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek akal, rasa dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam hubungan dengan intelrktualitas , rasa dalam bidang estetis dan kehendak dalam bidang moral (etika).

2. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan POLEKSOSBUD HANKAM
            Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu realisasi praksis untuk mencapai tujuan bangsa. Adapun pembangunan dirinci dalam berbagai macam bidang antara lain POLEKSOSBUD HANKAM. Dalam bidang kenegaraan penjabaran pembangunan dituangkan dalam GBHN yang dirinci dalam bidang-bidang operasional serta terget pencapaiannya.

Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Bidang Politik
            Pembangunan dan pembangunan bidang politik harus mendasarkan pada dasar ontologis manusia. Hal ini di dasarkan pada kenyataan objektif bahwa manusia adalah sebagai subjek negara oleh karena itu kehidupan politik dalam negara harus benar-benar untuk merealisasikan tujuan demi harkat dan martabat manusia.

Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Ekonomi
            Dalam dunia ilmu ekonomi boleh dikatakan jarang ditemukan pakar ekonomi yang mendasarkan pemikiran pengembangan ekonomi atas dasar moralitas kemanusiaan dan ketuhanan. Sehingga lazimnya pengembangan ekonomi mengarah pada persaingan bebas, dan akhirnya yang kuatlah yang menang. Hal ini sebagai implikasi dari perkembangan ilmu ekonomi pada akhir abad ke-18 menumbuhkan ekonomi kapitalis. Atas dasar kenyataan objektif inilah maka Eropa pada awal abad ke-19 muncullah pemikiran sebagai reaksi atas perkembangan ekonomi tersebut yaitu sosialisme komunisme yang memperjuangkan nasib kaum proletar yang ditindas oleh kaum kapitalis. Oleh karena itu, kiranya menjadi sangat penting bahkan mendesak untuk dikembangkan sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas humanistik, ekonomi dan berkemanusiaan.

Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
            Dalam pembangunan pengembangan aspek sosial budaya hendaknya didasarkan atas sistem nilai yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terutama dalam rangka bangsa Indonesia melakukan reformasi dewasa ini sering kita saksikan adanya stagnasi nilai sosial budaya dalam masyarakat sehingga tidak mengherankan jikalau di berbagai wilayah Indonesia saat ini terjadi berbagai macam gejolak yang sangat memprihatinkan antara lain amuk mass yang cenderung anarkis. Bentrok antar kelompok masyarakat satu dengan yang lainnya yang muaranya adalah pada masa politik.

Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan Kehidupan Beragama
            Pada proses reformasi dewasa ini di beberapa wilayah negara Indonesia terjadi konflik sosial yang bersumber pada masalah SARA, terutama bersumber pada masalah agama. Hal ini menunjukkan kemunduran bangsa Indonesia kearah kehidupan beragama yang tidak berkemanusiaan. Tragedi di ambon, Poso, Medan, mataram, Kupang serta daerah-daerah lainnya menunjukkan betapa semakin melemahnya toleransi kehidupan beragama yang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
            Dalam pengertian inilah maka negara menegaskan dalam pokok pikiran ke IV bahwa “Negara berdasar atau Ketuhanan Yang Maha easa, atas dasar kemanusiaan yang adil yang beradab”. Hal ini berarti bahwa kehidaupan dalam negara mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Negara memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.[2]

E. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
            Ketika gelombang gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh aturan maind alam wacana politik mengalami keruntuhan terutama praktek-praktek elit politik yang dihinggapi penyakit KKN. Bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak azasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
            Secara historis telah kita pahami bersama bahwa para pendiri negara telah menentukan suatu asas, sumber nilai serta sumber norma yang fundamental dari negara Indonesia yaitu Pancasila, yang bersumber apa yang dimiliki bangsa Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai yang merupakan pandangan hidup sehari-hari bangsa Indonesia. Nilai ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan dan Keadilan adalah ada secara objektif dan melekat pada bangnsa Indonesia yang merupakan pandangan dalam kehidupan bangsa sehari-sehari.
1. Gerakan Reformasi
            Pelaksanaan GBHN 1998 pada PJP II Pelita ke tujuh ini bangsa Indonesia mengahadapi bencana hebat, yaitu dampak krisis ekonomi Asia terutama Asia Tenggara sehingga menyebabkan stabilitas politik menjadi goyah. Terutama praktek-praktek pemerintahan di bawah orde baru hanya membawa kebahagiaan semu, ekonomi rakyat menjadi semakin terpuruk sistem ekonomi menjadi kapitalistik di mana kekuasaan ekonomi di Indonesia hanya berada pada bagian kecil penguasa dan konglomerat.
            Yang lebih mendasar lagi reformasi dilakukan pada kelembagaan tinggi dan tertinggi negara yaitu pada susunan DPR dan MPR, yang dengan sendirinya harus dilakukan melalui pemilu secepatnya dan diawali dengan pengubahan :
  1. UU tentang susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU No. 16/1969 jis. UU No. 5/1975 dan UU NO. 2/1985.
  2. UU tentang Partai Politik dan golongan Karya (UU No. 3/1975, jo UU No. 3/1985).
  3. UU tentang Pemilihan Umum (UU No. 16/1969 jis UU No. 4/1975, UU No. 2/1980, dan UU No. 1/1985.
a. Gerakan Reformasi dan Ideologi Pancasila
            makna serta pengertian “Reformasi” dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan amsyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan pengertian reformasi itu sendiri.
            Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut:
1.       Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan Orba banyak terjadi suatu penyimpangan-penyimpangan misalnya asas kekeluargaan menjadi ‘nepotisme’, pembukaan Uud 1945 serta batang tubuh UUD1945.
2.       Suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan kepada dasar nilai-nilai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.
3.       suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu (dalam hal ini UUD) sebagai kerangka acuan reformasi.
4.       Reformasi dilakukan ke arah suatu perubahan ke arah kondisi serta keadaan yang lebih baik.
5.       Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang Berketuhanan Yang Maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.

b. Pancasila Sebagai Dasar Cita-cita Reformasi
            Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah, nampaknya tidak diletakkan dalam kedudukan dan fungsi yang sebenarnya. Asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam nilai Pancasila disalahgunakan menjadi praktek nepotisme, sehingga merajalela kolusi dan korupsi.
            Maka reformasi dalam perspektif Pancasila pada Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Adapun secara rinci sebagai berikut:
  1. Reformasi yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berarti bahwa suatu gerakan kearah perubahan harus mengarah pada suatu kondisi yang lebih baik bagi kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan.
  2. Reformasi yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berarti bahwa reformasi harus dilakukan dengan dasar-dasar nilai-nilai martabat manusia yang beradab.
  3. Semangat reformasi harus berdasarkan pada nilai persatuan, sehingga reformasi harus menjamin tetap tegaknya negara dan bangsa Indonesia
  4. Semangat dan jiwa reformasi harus berakar pada atas kerakyatan sebab justru permasalah dasar gerakan reformasi adalah pada prinsip kerakyatan.
  5.  Visi dasar reformasi harus jelas, yaitu demi terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Bangsa Indonesia.

2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
            Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-undangan.

Pancasila sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
            Dalam negara terdapat suatu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber positif yang dalam ilmu tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”

Dasar Yusridis Reformasi Hukum
            Dalam wacana reformasi hukum dewasa ini bermunculan berbagai pendapat yang pada taraf tertentu nampak hanya luapan emosional yang dan meninggalkan aspek konsepsional. Reformasi total sering disalahartikan sebagai dapat melakukan perubahan dalam bidang apapun dan dengan jalan apapun.

Pancasila SebagaiParadigma Reformasi Pelaksanaan Hukum
            Dalam suatu negara betapapun baik suatu peraturan perundang-undangan namun tidak disertai jaminan dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik niscaya reformasi hukum akan sia-sia belaka. Pelaksanaan hukum yang baik juga harus ditunjang oleh aparat penegak hukum yang memiliki integritas sesuai dengan sumpah jabatan dan tanggungjawab moral sebagai penegak hukum. Integritas dan moralitas para aparat penegak hukum dengan sendirinya harus memiliki landasan nilai-nilai serta norma yang bersumber pada landasan filosofis negara, dan bagi bangsa Indonesia adalah dasar filsafat negara Indonesia.

3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik
            Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu Pembukaan UUD 1945 alinie IV yang berbunyi “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia.
a. Reformasi Atau Sistem Politik
            Sistem mekanisme demokrasi tersebut tertuang dalam Undang-undang Politik yang berlaku selama orde barru yaitu:
  1. UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU No. 16/1969 jis UU No. 5/1975 dan UU No. 2 /1985).
  2. UU tentang Partai Politik dan golongan Karya (UU No. 3/1975, jo. UU No. 3/1985).
  3. UU tentang Pemilihan umum (UU No. 15/1969 jis UU No.4/1975. UU No.2/1980, dan UU No.1/1985)
Susunan Keanggotaan MPR
            Taget yang sangat vital dalam proses reformasi dewasa ini adalah menyangkut penjabaran sistem kekuasaan rakyat dalam sistem politik Indonesia.
            Undang-undang tentang susunan dan keududukan MPR, DPR dan DPRS paa masa orde baru termuat dalam UU No.2/1985 adalah sebagai berikut:
  1. Susunan keanggotaan MPR terdiri atas keseluruhan anggota DPR, ditambah dengan angota utusan daerah dan utusan golongan “sebagai kelompok yang lain” dalam jumlah yang sama
  2. Utusan golongan diangkat oleh presiden, sedangkan utusan daerah ditetapkan oleh DPRD Tingkat I yang di dalamnya harus termasuk Gubernur/Kepala daerah Tingkat I
  3. Susunan keanggotaan DPR dan DPRD tingkat I dan tingkat II tidak seluruhnya dipilih oleh rakyat melalui pemilu, melainkan sebagian dipilih dan diangkat oleh presiden.
  4. Kata “ditambah” seperti termaktub dalam pasal 2 ayat (1) UUD 1945 secara matematis menunjukkan perbandingan jumlah anggota MPR Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang notabene diangkat dan sekedar sebagai tambahan akan lebih besar dibandingkan jumlah anggota MPR yang dipilinh langsung oleh rakyat, bahkan ditambah lagi anggota DPR dari fraksi ABRI yang juga dipilih melalui pemilu.
Susunan keanggotaan MPR sebagaimana termuat dalam Undang-undang Politik No.2/1985 tersebut jelas tidak demokratis dan tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat sebagai tertuang dalam semangat UUD 1945.

Reformasi Partai Politik
            Demi terwujudnya supra struktur yang benar-benar demokratis dan spiratif maka sangat penting untuk dilakukan penataan kembali infra struktur politik, terutama tentang partai politik. Untuk itu tidak perlu dilakukan reformasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang partai politik tersebut. Pada masa orde baru ketentuan tentang partai politik diatur dalam Undang-undang politik yaitu UU No.3 Tahun 1975, jo. UU No.3 Tahun 1985, tentang Politik dan Golongan Karya.

b. Reformasi Atas Kehidupan Politik
            Para pendiri negara serta penggali nilai-nilai pancasila menentukan pancasila sebagai dasar dlaam kehidupan berbangsa dan bernegara serta memformalkan UUD 1945 sebagau undang-Undang Dasar Negara dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana terkandung dalam nilai kerakyatan sila IV Pancasila. Sewaktu Pancasila dan UUD 1945 beserta pembukaan UUD 1945 ditetapkan kehidupan demokrasi dan kemakmuran dijadikan sebagai kerangka dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

4. Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
            Tidak terwujudnya pelembagaan proses politik yang demokratis, mengakibatkan hubungan pribadi merupakan mekanisme utama dalam hubungan sosial, sosial dan ekonomi dalam suatu negara. Kelemahan atas sistem hubungan kelembagaan demokratis tersebut memberikan peluang bagi tumbuh kembangnya hubungan antar penguasa politik dengan pengusaha, bahkan antara birokrat dengan pengusaha.[3]







Kesimpulan
Paradigma ialah cara pandang, nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar atau cara memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh suatu masyarakat pada masyarakat tertentu . karena itu, pancasila harus dijadikan paradigma dalam melaksanakan pembangunan nasionl, yaitu sebagai landasan, auan, metode, nilai dan sekaligus tujuan yang ingin dicapai.
Dalam upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika gelombang gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh aturan main alam wacana politik mengalami keruntuhan terutama praktek-praktek elit politik yang dihinggapi penyakit KKN.
Dalam suatu negara betapapun baik suatu peraturan perundang-undangan namun tidak disertai jaminan dengan jaminan pelaksanaan hukum yang baik niscaya reformasi hukum akan sia-sia belaka
Landasan aksiologis (sumber nilai) bagi sistem politik Indonesia adalah sebagaimana terkandung dalam Deklarasi Bangsa Indonesia yaitu Pembukaan UUD 1945 alinie IV yang berbunyi “…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat indonesia.






DAFTAR PUSTAKA

Setiadi M. Elly, Pendidikan Pancasila untuk P
erguruan Tinggi, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
H. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta : Paradigma, 2004





[1] Elly M. Setiadi, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 173-174.
[2] Dr. H. Kaelan, M.Si., Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta : Paradigma, 2004), hlm. 228-235.
[3] Ibid., hlm. 236-257.

TAREKAT






By:  Nambeen dan Halimatus
PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi allah yang telah memberikan kita kekaguman serta keagungan hanya semata tertuju kepada Allah SWT . Dialah yang telah menganugrahkan kita sebagai makhluk yang mulia disisinya, dan dialah yang mengetahui makna dan maksud kandunganganya di zaman yang kita rasakan pada sekarang ini.Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Muhammad SAW, dan manusia Pilihannya.Dialah Rasulullah, Penyampai, serta Penafsir Pertama dan Utama terhadap Al-Qur’an Al-Karim.
Dengan pertolongan dan hidayahnyalah, kami dapat menyusun makalah ini. Sehingga makalah ini dapat tersusun dengan berdasarkan sesuai dengan pengarangnya.dengan adanya makalah yang kami susun ini tidakber maksud membelenggu minat pembaca Mahasiswa, tetapi mereka harus lebih mengetahui bagaimana cara menggali Tentang Tarekat-tarekat, Terutama didalam pelajaran Akhlak Tasawuf.
Demikianlah atas partisipasinya, Semoga dengan adanya makalah ini menjadi Motifasi bagi kita semua terutama di kalangan para pelajar/ Mahasiswa.
Wassamu’alaikum Wr.Wb.

TAREKAT
1.   Pengertian dan Tujuan Tarekat
Dari segi bahasa tarikat berasal dari Bahasa Arab “thariqat” Yang artinya jalan, keadaan, aliran atau garis pada sesuatu.jamil shaliba mengatakan secara harfiah tarikat berarti jalan yang terang,lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Selanjutnya pengertian tarikat berbeda-beda menurut tinjauan masing-masing. 
Dikalangan muhaddisin tarikat digambarkan dalam dua arti yang asasi.
Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar),dan Kedua didasarkan pada sistem yang jelas yang dibatasi sebelumnya. Pendapat Harun Nasution mengatakan,Tarikat ialah  jalan yang harus ditempuh orang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan.
          Hamka mengatakan bahwa diantara makhluk dan khaliq itu ada perjalanan hidup yang harus ditempuh.inilah yang kita katakan tarikat. Amalan dalam tarikat ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan, yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalamnya berisi amalan ibadah. Oleh karena itu pula, seorang sufi haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakeket. Disamping itu menjadi syekh atau sufi diperlukan syarat-syarat tertentu yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’ an:
Ketahuilah: !Sesungguhnya Wali-wali Allah, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,dan mereka pula tidak bersedih hati.Wali-wali Allah itu ialah orang-orang yang beriman serta mereka pula senantiasa bertaqwa.(Yunus:62-63).
          Tarikat merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka yang menjalankan tarikat itu harus menjalankan syariat dan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.    Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2.    Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya.
3.    Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar mencapai kesempurnaan yang hakiki.
4.   Berbuat dan mengisi waktu yang seefisien dengan segala wirid dan do’a guna pemantapan dan kehusyukan dalam mencapai maqomat (stasiun) yang lebih tinggi.
5.    Mengekang hawa nafsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.[1]
2.  Sejarah dan Perkembangan Tarekat
          Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti.namun Dr. Kmil Musthafa Asy-syibi dalam tesisnya tentang tasawuf dan syi’ah mengungkapkan tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir Al-jailani (w.561 H/1166 M) di Baghdad.Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di Mesir dengan tarekat Rifa’iyyah, dan Jalal Ad-din Ar-rumi (w.672 H/1273 M) di Parsi.
Harun Nasution  menyatakan bahwa setelah Al-Ghazali menghalalkan tasawuf yang sebelumnyadikatakan sesat,tasawuf berkembang didunia islam, tetapi perkembangannya melalui tarekat. Tarekat adalah organisasi dari pengikat sufi-sufi besar. Mereka mendirikan Organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka, timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat(disebut juga zawiyah,hangkah,atau pekir).ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf syekhnya.
  Asal-usul tarekat(al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10M). Pada waktu itu tarekat berkembang pesat di Negeri-negeri seperti: Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah.Beberapa sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut.
Pada masa itu ilmu tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Diantara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabbah atau isy’q (cinta),fana’ (hapusnya diri/nafs yang rendah).baqa(rasa hidup kekal dalam yang satu),ma’rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal),serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
Kehidupan para sufi abad 3-4 H merupakan kritik terhadap kemewahan hidup para penguasa dan kecendrungan orientasi hidup masyarak muslim pada materialisme. Keadaan ini memberikan sumbangsih pada terjadinya degradasi moral masyarakat. Keadaan politik yang penuh ketegangan juga memberikan peran bagi pertumbuhan sufisme abad tersebut.Maraknya praktek sufisme dan tarekat di abad ke  12-13 M juga tidak lepas dari dinamika sosio-politik dunia islam.
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan dan Mesopotamia (Irak). Pada periode ini mulai timbul beberapa, di antaranya tarekat Yasafiyahyang didirikan oleh Ahmad Al-yasafi (w. 562 H/1169 M),tarekat khawajagawiyah oleh Abd Al-khaliq Al-ghuzdawani (w. 617 H/1220 M),tarekat Naqsabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhori (w. 1389 M) di Turkista, tarekat khalwatiyah yang didirikan oleh Umar Al-Khawati (w. 1397 M).
Didaerah Mesopatamia masih banyak tarekat yang muncul dalam periode ini dan cukup terkenal, tetapi tidak termasuk rumpu Al-Junaid. Tarekat-tarekat ini antara lain adalah :
1.    Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir Al-jailani (471 H/ 1078 M).
2.    Tarekat Syadziliyah Yang dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656 H/1196-1258 M).
3.    Tarekat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i (1106-1182)
Tarekat yang tergolong kepada Qadiriyah ini cukup banyak dan tersebar keseluruh negeri islam. Tarekat Faridiyah di Mesir yang dinisbatkan kepada Umar bin Al-Farid (1234 M) Yang kemudian mengilhami tarekat  Sanusiyah (Muhammad bin Ali As-Sanusi 1787-1859 M) melalui tarekat Idrisiyah (Ahmad bin Idris) di Afrika Utara merupakan Qadiriyah yang masuk ke India melalui Muhammad Al-Ghawath (1517 M) Yang kemudian dikenal dengan tarekat Al-Ghawathiyah Al-Mi’rajiyah dan di Turki dikembangkan oleh Ismail Ar-Rumi (1041 H/1631).
Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu secara sistematis dan konsepsional.Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang dari ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, sampai tarekat itu berkembang ke nerbegai dunia islam. Namun ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama.
Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an. Pertemuan ini lajim digambarkan sebagai tindakan mengingat Allah atau Dzikir. Selain itu kegiatan-kegiatan  ibadah harian bagi para pengikut juga ditetapkan ,sebagaimana kegiatan lain, seperti meditasi khusus, asketisme dan ibadah. Beberapa do’a khusus dari masa awal sufi kemudiandi gunakan secara luas, sementara struktur dan format ritual yang menjadi karakter khas tarekat tersebut disiapkan oleh individu yang mendirikan tarekat. Pendiri tarekat merupakan pembimbing spiritual bagi seluruh pengikut didalam tarekat, yang mengucapkan sumpah setia khusus kepadanya sebagai syekh atau guru mereka.Dengan berlanjutnya tarekat, catatan mengena penerusan ritual itu akan di pelihara dalm suatu rantai keturunan spiritual, yang disebut silsilah, yang menyatakan bahwa orang yang mengambil tarekat dari seorang syekh, yang mengambilnya dari syekh lain dari suatu garis yang berlanjut mundur hingga ke pendirinya, dan kemudian biasanya dari pendiri hingga ke  Nabi Muhammad SAW.Dengan semakin mantapnya tareka,kepemimpinan akan [2]beralih dari satu syekh kepada syekh berikutnya, kadang-kadang masih dalam satu keluarga dan kadang-kadang atas dasar senioritas spiritual didalam tarekat. Pada suatu masa, seorang pengikut akan mencapai sederajat yang mencapai dari kekhasan yang khusus sehingga do’a-do’anya akan mewakili anak cabang yang diakui di dalam tarekat yang lebih besar. Pada masa yang lain pengikut semacam itu di pandang sebagai pemrakarsa keseluruhan tarekat  baru.
3.    Tarekat di Indonesia
Beberapa sumber menyebutkan bahwa ajaran tarekat baru muncul pada abad ke-11, yakni sejak Abdul Qadir Jilani memperkenalkan Tarekat Qadiriyah di Baghdad. Namunpraktik  kesufian atau tasawuf diduga sudah ada sejak agama islam muncul.
Berbicara tentang tarekat di indonesia tentu tidak akan bisa lepas dari agama islam. Isam berasal dari jazirah arab di bawa oleh Rasulullah, kemudian diteruskan masa Khulafa Ar-Rasyidin ini mengalami perkembangan yang pesat. Penyebarluasan islam ini bergerak keseluruh penjuru dunia. Islam datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia.
Ada beberapa hal yang menjadi penting dalam pembahasan sejarah perkrmbangan tarekat di Indonesia, yakni :
I.     Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Tarekat
Didunia islam Tasawuf telah menjadi kegiatan keislaman dan telah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Landasan yang terdiri dari ajaran, nilai, moral dan etika, kebajikan, kearifan, keikhlasan serta olah jiwa dalam suatu kekhusyukan telah terpancang kokoh. Sebelum ilmu tasawuf ini membuka pengaruh mistis keyakinan dan kepercayaan sekaligus lepas dari saling keterpengaruhan dengan berbagai kepercayaan atau mistis lainnya. Sehingga kajian tasawuf dan tarekat tidak bisa di pisahkan dengan kajian terhadap pelaksananya di lapangan.
Dalam hal ini praktek Ubudiyah dan muamalah dalam tarekat walaupun sebenarnya kegiatan tarekat sebagai sebuah institusi lahir belasan abad sesudah adanya contoh konkrit pendekatan kepada Allah yang telah di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Kemudian diteruskan oleh Sahabat-sahabatnya., Tabi’in, dan seterusnya sampai kepada Auliyaullah, dan sampai sekarang ini. Garis yang menyambung sejak Nabi hingga sampai Syaikh tarekat yang hidup saat ini yang lazimnya dikenal dengan Silsilah Tarekat.
Tumbuhnya tarekat dalam islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama islam, yaitu ketika Nabi Muhammad SAW  Diutus menjai Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Muhammad SAW  sebelum di angkat menjadi Rasul telah berulang kali bertakhannus atau berkhalwat di Gua Hira.disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat Mekah yang sedang mampu mengikuti hawa nafsu keduniaan.Takhannus dan Khalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks. Proses khalwat yang di lakukan Nabi tersebut dikenal dengan Tarekat. Kemudian di ajarkan kepada Sayyidina Ali RA. Dan dri situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada Syaikh Abd Qadir Djailani, yang dikenal sebagai penditi Tarekat Qadiriyah.
II.  Periodisasi Sejarah Perkembangan Tarekat di Indonesia
Kekurangan informasi yang bersumber dari fakta peninggalan Agama Islam. Para Kiai dan ulama kurang dan bahkan dapat dikatakan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Tidaklah mengherankan bila hal ini menjadisalah satu sebab sulitnya menemukan fakta tentang masa lampau di indonesia. Islam di Indonesia  tidak sepenuhnya seperti yang digariskan Al-Qur’an dan Sunnah saja, pendapat ini didasarkan pada kenyaaan bahwa kitab-kitab fiqih itu dijadikan referensi dalam memahami ajaran islam di berbagai pesantren, bahkan di  jadikan rujukan oleh para hakim dalam memutuskan perkara di pengadilan-pengadilan Agama.Islam Di Asia Tenggara mengalami Tiga Tahap : Pertama, islam  disebarkan oleh para pedagang yang berasal darinArab, India dan Persia disekitar pelabuhan(terbatas). Kedua, datang dan berkuasanya Belanda di Indonesia, Iinggris di semenanjung Malaya, dan Spanyol di Filiphina, sampai Abad XIX M.Ketiga, [3]tahap liberalisasi kebijakan pemerintah kolonia, terutama Belanda di Indonesia.Indonesia yang terletak di antara Dua Benua dan Dua Samudera, yang memungkinkan terjadinya perubahan sejarah yang sangat cepat. Keterbukaan menjadi pengaruh luar tidak dapat dihindari. Pengaruh yang diserap dan kemudian disesuaikan denganbudaya yang dimilinya, maka lahirlah dalam bentuk yang baru khas Indonesia. Misalnya : Lahirnya Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah, dua tarekat yang disatukan oleh syaikh Ahmad Khatib As-Sambasyi dari berbagai pengaruh budaya yang mencoba memasuki relung hati bangsa Indonesia,  Kiranya islam sebagai agama wahyu berhasil memberikan bentukan jati diri yang mendasar. Islam berhasil tetap eksis ditengah keberadaan dan dapat dijadikan syimbol kesatuan. Bebagai Agama lainnya hanya mendapatkan tempat disebagian kecil rakyat Indonesia. Keberadaan islam di rakyat Indonesia di hantarkan dengan penuh kelembutan oleh para sufi melalui kelembagaan tarekatnya, yang diterima oleh rakyat sebagai ajaran baru yang sejalan dengan tututan nuraninya.
TOKOH-TOKOH PERINTIS TAREKAT DI INDONESIA

Beberapa tokoh yang di anggap sebagai perintis ajaran di Indonesia di antaranya :
          Hamzah Fansuri (w.1590), Syamsuddin Al-Sumatrani (w.1630), Nuruddin Al-Ranir  (1637-1644), Syekh Yusf Al-Makasari (1626-1699), Abdul Basir Al-Dharir Al-khalwati alias Tuang Rappang I Wodi, Abdul Shamad Al-Palimbani, Nafis Al-Banjari,Syekh Ahmad Khatib Smbas (w.1873), Syekh Abdul Karim Al-Bantani, Kyai Thalhah dari Cirebon, dan Kyai Ahmad Hasbullah dari Madura.
          Tiga nama terakhir, syekh Abdul Karim  Al-Bantani, Kyai Thalhah, dan Kyai Ahmad Hasbullah adalah muri-murid dari Syekh Ahmad Khatib Karim Al-Bantanibeberapa tahun pulang ke banten kemudian kembali lagi mekah menjadi Syaikh menggantikan Khatis Sambas.Kyai Thalhah mengajarkan tarekat di Cirebon, dari garis beliau lahir beberapa tokoh tarekat di antanya Syekh Abdul Mu’in yang mendirikan pesantren di Ciasem Subang,Pangeran Sulendraningrat di Cirebon,dan Abah Sepuh pendiri Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Sedangkan dari garis Kyai Ahmad Hasbullah, muncul banyak nama dari klan Hasyim As’ari pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang.[4]

Kesimpulan
Tarekat ialah “Jalan” yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebaba jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Perkembangan tarekat merupakan pendidikan akhlak dan jiwa bagi yang merupaka paduan khas, metode dan ritual. Tarekat di indonesia juga memiliki suatu keislaman yang telah menjadi sebuah disiplin landasan yang terdiri dari ajaran, nilai, moral dan etika. Tumbuhnya tarekat islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama islam, untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Solihin, M. Prof. Dr., dan Rosihin Anwar, Dr.,Ilmu Tasawuf, Bandung: CV Pustaka Setia,2008.
Nata, Abuddin. Prof. Dr. H., Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.                                                                                             
http///.Syekh Muhammad Amin Al-Khurdi,Tarekat di Indonesia dan Perkembangannya.


[1] Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A. Akhlak tasawuf(PT.Rajagrafindo persada,Jakarta:2010)hal.269
[2] Prof. Dr.M.Solihin, M.Ag.Ilmu Tasawuf(Pustaka Setia,Bandung:2008)hal.206
[3] http///:Syekh Muhammad Amin Al-khurdi,Tarekat di Indonesia dan Perkembangannya.
[4] Ibid.,