BY: MUHAMMAD NAMBIN LUBIS
ISLAM DAN PERUBAHAN MASYARAKAT
A. Pendahuluan
B. Pembahasan
a. Pengertian Perubahan Masyarakat
Perubahan masyarakat sosial adalah perubahan dalam intraksi, antar orang organisasi atau komunitas, ia dapat menyangkut struktur sosial atau pola nilai dan pola norma.[1]
Dan cara yang lebih sederhana untuk mengerti dari perubahan masyarakat sosial itu adalah dengan membuat rekapitulasi dari semua perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Bahkan jika ingin mendapatkan gambaran yang jelas mengenai dari perubahan masyarakat sosial itu maka hala yang lebih baik dibuat adalah mencoba menangkap semua kejadian yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.[2]
Kenyataannya mengenaiperubahan-perubahan dalammasyarakat dapat dianalisa dari berbagai segi diantaranya kearah manaperubahan dalam masyarakat itu bergerak dan yang jelas adalah bahwa perubahan itu bergerak meninggalkan faktor yang diubah. Akan tetapi setelah meninggalkan faktor itu mungkin perubahan itu bergerak kepada sesuatu bentuk yang baru sama sekali, akan tetapi boleh pula bergerak kepada suatu bentuk yang sudah ada di dalam waktu yang lampau.
1. FaktorMempengaruhiPerubahan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi suatu perubahan, yaitu: bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan, terjadinya revolusi di dalam masyarakat itu sendiri, adanya gangguan dari alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan peperangan.[3]
2. Konsep Islam Tentang Perubahan itu sendiri.
Perubahan adalah suatu hukum alam atau disebut Sunnatullah. Kita bisa membuktikan bahwa kehadiran manusia di bumi ini adalah dari yang tidak ada menjadi ada. Penciptaan bumi dan lain sebagainya pun hampir sama halnya dengan manusia. Dalamadanya manusia, ia telah mengalami perubahan dari anak, dewasa, dan tua.
Dan juga, perubahan-perubahan itu terjadi di masyarakat-masyarakat muslim. Perubahan-perubahan sosial tentu saja dibolehkan, selama tidak melanggar prinsip asaz-asaz sosial yang telah ditentukan oleh Allah. Akan tetapi, banyak masyarakat islam yang tidak mengerti akan hal itu, terkadang mereka atau bahkan kita juga melanggar prinsip-prinsip tersebut. Dan kemudian, apakah perubahan masyarakat sosial itu sesuai dengan islam atau bukan.
Didalam masyarakat islam itu sendiri sebenarnya terbagi menjadi dua bagian dalam menerima perubahan dan tidak menerima perubahan. Masyarakat muslim yang tidak menerima perubahan adalah mereka untuk menyelamatkan iman dan agama mereka. Tidak menerima perubahan berarti tidak meneriman sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu adalah mungkin berbentuk ide, konsepsi, ataupun gagasan. Selain daripada itu masyarakat islam terbuka dalam perubahan sosial entah itu dalam sesuatu yang baru, ataupun karena asimilasi, difusi, dan akulturasi.
Namun, ada juga masyarakat muslim yang menerima perubahan sosial tanpa batas. Demi untuk maju, semua perubahan dihalalkan. Apakah mengenai prinsip sosialnya atau cara pelaksanaannya. Dengan menerima prinsip yang bukan dari Islam, maka ia tergelincir kepada cara hidup yang bukan kepada islam, walaupun sebenarnya ia masih beragama islam atau mungkin bisa juga disebut materialisme, hedonisme, dan isme-isme yang baru. Karena sosialnya tidak mengikuti dengan apa yang telah digariskan oleh Islam.[4]
b. Kriteria Masyarakat Islami
Bila kita kembali ke masa 14 abad yang lalu, sungguh pasti kita akan terkejut. Karena kita akan diperkenalkan dengan sebuah masyarakat terbaik yang pernah ada di bumi ini. Masyarakat yang mampu melakukan lompatan besar untuk membentuk sebuah tatanan baru yang berlandaskan pada al-Qur’an, sehingga mampu melakukan tranformasi radikal untuk merombak secara total nilai, simbol, dan struktur masyarakat yang telah berakar kuat pada masa itu. Masyarakat itu adalah masyarakat Madinah, dimana Rasululah SAW. berdakwah selama masa 10 tahun terakhir hidupnya. Masyarakat madinah saat itu berhasil menghasilkan suatu tatanan masyarakat yang benar-benar baru dan berbeda dari masyarakat jahiliyah yang mendominasi wilayah jazirah arab saat itu. Bentuk masyarakat Madinah inilah, yang kemudian ditransliterasikan menjadi “Masyarakat Madani‟, sebuah tipikal ideal mengenai konsepsi sebuah masyarakat Islami.
Eksistensi masyarakatMadinah masa Rasulullah SAW tidaklah serta merta terbentuk begitu saja. Lompatan besar yang berhasil dilakukan oleh masyarakat Madinah pada masa itu adalah sebuah proses panjang dari kemampuan mereka mengaplikasikan nilai dan simbol Islam secara bersamaan. Nilai Islam ini bersumber dari al-Qur’an dan perintah Nabi sebagai penjelasan nilai-nilai tersebut. Jadi, itulah yang membedakan peradaban islam masa Rasulullah dan masa kini. Jelas sekali terlihat bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadits benar-benar menjadi pedoman dan petunjuk hidup masyarakat Madinah masa Rasulullah SAW. Sedangkan zaman sekarang, masyarakat islam sudah tidak lagi 100% menjadikan kitab sucinya sendiri sebagai pedoman hidupnya. Padahal di dalam Al-Qur’an sudah terangkum semua hal yang dapat membuat kita berprestasi di dunia maupun akhirat. Kitab ini mengandung segala hal, mulai dari hubungan kita dengan Allah, hubungan kita sesama manusia, sampai ke ilmu pengetahuan. Jadi, jelaslah bahwa yang membuat umat islam terpuruk saat ini bukanlah karena ajaran islamnya yang salah, melainkan karena umat islam itu sendiri yang sudah mulai meninggalkan ajaran agamanya dan kitab sucinya. [5]
Sebenarnya seperti apa kriteria masyarakat muslim atau islami? Didalam Nash al-Qur’an disebutkan, yaitu:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”(QS. Ali Imron : 110)
Yang pertama adalah memiliki aqidah yang bersih kepada Allah SWT, dan tidak menyekutukannya dengan hal apapun. Hal iman ini menjadi penting untuk terwujudnya suatu masyarakat muslim yang ideal, karena hanya dengan keimanan yang bersihlah ridho Allah SWT akan terlimpah dalam masyarakat itu. Kita harus betul-betul menyadari bahwa ridho Allah SWT adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. Karena ridho Allah SWT merupakan sebuah izin dari Yang Maha Kuasa agar kita dapat mendapatkan berkah-Nya. Saat ini banyak orang-orang yang mengaku bertuhankan Allah SWT, tapi masih memiliki tuhan-tuhan lainnya sebagai perantara. Atau, masih memiliki hal-hal lain yang dia agungkan melebihi keagungan Allah Azza wa Jalla. Atau, meyakini Allah SWT tapi masih saja merasa aman ketika berbuat maksiat, seakan-akan dia tidak menyadari keberadaan Allah SWT. Na’udzubillahi min dzaliq.
Yang kedua adalah amar ma’ruf, atau mengajak kepada kebaikan. Sebagai sebuah sistem komunitas, sudah menjadi hal yang wajar dalam bermasyarakat kita berinteraksi dengan orang lain. Interaksi yang terjadi sangat beragam, mulai dari berjual beli, bersenda gurau, bekerja sama, dll. Dalam konteks masyarakat muslim ideal, interaksi yang terjadi lebih dari sekedar hal itu, interaksi yang terjadi pastinya harus lebih bermakna karena didasari oleh persaudaraan yang berlandaskan kesamaan akidah, ya, ukhuwah islamiyah. Hal inilah yang membuat perilaku amar ma’ruf menjadi ciri dari masyarakat muslim yang ideal. Karena tanpa kita sadari, perilaku amar ma’ruf memiliki energi yang sangat besar, bahkan sampai diulang-ulang sebanyak 32 kali dalam Al-Qur’an. Coba kita bayangkan, betapa indahnya hidup ini bila kita dikelilingi oleh orang-orang baik, terlebih lagi, saudara seiman kita sendiri, yang setiap waktunya selalu mengajak kita untuk berbuat kebaikan. Subhanallah.
Yang ketiga adalah nahi munkar, atau mencegah kepada kemunkaran. Sebuah masyarakat muslim yang ideal adalah sebuah masyarakat yang memiliki kontrol terhadap perbuatan-perbuatan maksiat yang terjadi di komunitasnya. Hal ini yang akan membuat kondisi umat menjadi kondusif. Perbuatan nahi munkar inilah yang jarang terlihat pada masa ini. Masyarakat muslim saat ini cenderung membiarkan saudaranya yang terjerumus dalam kubangan maksiat, padahal sudah menjadi kewajiban kita untuk saling mengingatkan sesama saudara muslim walaupun itu sulit.[6]
Selain 3 karakteristik utama seperti yang dijelaskan dalam QS. Alim Imron ayat 110, sebuah komunitas muslim ideal juga harus memiliki karakteristik khusus yang sebenarnya turunan dari ketiga karakteristik utama yang di atas.
Yang pertama adalah memiliki kesalehan atau kebaikan pribadi dan sosial. Sebuah komunitas muslim yang ideal, memiliki masyarakat yang sudah sangat paham akan hal ini, sebuah perbedaan yang mencolok dengan umat muslim zaman ini. Kesalehan pribadi yang dimaksud tentunya adalah ketaatan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya dengan turut melekatkan perilaku-perilaku yang baik dalam diri mereka. Sedangkan kesalehan sosial adalah bagaimana individu dalam komunitas bisa saling berinteraksi dengan ukhuwah islamiyah yang berlandaskan akhlakul karimah. Disamping itu, kesalehan sosial inipun juga harus ditunjukkan kepada masyarakat non muslim yang juga ada dalam komunitas. Tak bisa kita pungkiri, saat ini kita hidup dalam masyarakat yang sangat pluralis, karena itulah sifat toleran (tasamuh) menjadi hal yang amat penting.
Pada masa Rasulullah pun, masyarakat Madinah juga terdiri dari masyarakat yang pluralis. Mereka terdiri dari 8 suku bangsa arab dan 3 suku bangsa yahudi. Namun, dengan sikap saling toleransi yang baik, suku-suku tersebut dapat disatukan menjadi satu tatanan masyarakat yang rukun dan hidup berdampingan. Jadi, masyarakat muslim ideal haruslah mencintai kebaikan (Al-Mushlih). Al-Qur’an secara serius memperingati manusia untuk menjadi Al-Mushlih, sekaligus melarangnya menjadi Al-Mufsid. Masyarakat muslim ideal wajib menjadikan hidupnya sebagai marhamah dan terus menebar kerahmatan pada sesama.
Yang kedua adalah berprestasi dunia dan akhirat. Sebuah komunitas muslim bukanlah komunitas yang hanya berorientasikan pada kepentingan akhirat saja, tapi juga kepentingan dunia.[7]
Hal ini dijelaskan pada QS. Al-Baqarah : 143 yang menyatakan bahwa umat muslim adalah “ummatan washatan” atau seimbang antara dunia dan akhirat. Hal ini juga dijelaskan dalam ayat berikut.
”Jika telah shalat, bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(QS. Al Jumu’ah : 10)
c. Kriteria Keluarga Islami
Salah satu ciri keluarga yang ideal ialah keluarga yang tenang, tentram, tidak ada pertengkaran, dan yang lainnya sebagai buah dari terjalinnya cinta dan kasih yang tulus di antara suami dan istri. Cinta kasih biasa terjalin ketika menjelang nikah atau beberapa saat setelah nikah. [8]
Menurut ajaran Islam cinta itu harus lestari dan bahkan membangun cinta dan kasih yang sebenarnya justru harus diwujudkan setelah mereka resmi menjadi suami istri. Untuk melestarikan cinta kasih yang abadi di antara suami istri bisa ditempuh antara lain dengan membiasakan, ta’awun atau saling tolong menolong yang tulus di antara suami istri; semakin banyak menolong istri atau suami, akan semakin mantap cinta dan kasih di antara suami istri.
Semakin malas tolong menolong dia ntara suami istri, semakin besar peluang hilangnya cinta kasih. Tasamuh; toleransi, menghargai pendapat istri atau suami, memaafkan ketika suami atau istri me-minta maaf kepada suami atau istri, tidak dendam kepada suami atau istri, istri atau suami berusaha saling men-yenangkan, saling membahagiakan, tidak menyinggung harga diri suami atau istri.
Tarahum, saling sayang menyayangi, tidak menghina, tidak mendriskeditkan, tidak membuka rahasianya, tidak membuka aib, tidak meremehkan, tidak mencemooh, memanggil namanya dengan nama yang baik, panggilan yang menyenangkannya.
Tabayyun, mengecek kebenaran, informasi yang tidak baik tentang suami atau istri. Jangan percaya apalagi menyebarluaskan kejelekan istri atau suami. Berikan yang terbaik kepada istri atau suami walaupun suami atau istri tidak memberikan yang terbaik kepada kita. Biasakan untuk ibadah bersama seperti shalat, dzikir, ke majelis taklim, umrah, haji, dll. Bahkan sa-ling doa mendoakan di antara suami istri. [9]
d. Pengaruh Tata Cara HidupIslami
Sesungguhnya tata cara kehidupan yang Islami itu dapat mewujudkan masyarakat Islam dengan sejumlah keistimewaan (karakteristik) dan pengaruh yang positif, antara lain:
1. Tamayyuz (berpenampilan berbeda)
Maksudnya tata kehidupan dan kebiasaan itu bisa menjadikan setiap individu anggota masyarakat Islam sebagai syakhshiyah (kepribadian) yang memiliki identitas tersendiri. Jelas pendiriannya dan bisa mempertahankan diri untuk tidak meleleh dan larut oleh nilai-nilai dari luar sehingga hilang kepribadiannya, untuk kemudian mengadopsi seluruh tradisinya, tanpa dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang bermanfaat dan mana pula yang tidak. Inilah yang banyak terjadi di kalangan masyarakat Islam saat ini. Sesudah mereka terlepas dari identitasnya, tahap berikutnya mereka mengikuti budaya dan tata kehidupan masyarakat Barat secara keseluruhan, tanpa menyaring atau menyeleksi. Ini pula yang pernah diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
"Sungguh kamu akan mengikuti ummat suatu kaum sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang biawak niscaya kamu juga ikut masuk ke dalamnnya." Sahabat bertanya, "Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?" Nabi bersabda, "Siapa lagi (kalau bukan mereka)." (Muttafaqun 'Alaih)
2. Al Wahdah Al 'Amaliyah (kesatuan/keseragaman amal)
Sesungguhnya tatacara kehidupan seperti ini akan mampu membentuk kehidupan kaum Muslimin, meskipun tempat mereka berjauhan, bahasa mereka berbeda-beda, darah keturunan mereka juga berlainan. Mereka memiliki keseragaman (kesatuan) amal yang realistis, disamping kesatuan problem, kesatuan prinsip dan pemikiran, yang kesemuanya itu berpangkal tolak pada kesatuan aqidah dan ibadah mereka kepada Allah.
Maka di mana saja kamu singgah di tengah-tengah kaum Muslimin di bumi mana saja mereka memberi ucapan salam kepadamu dengan kata-kata "Assalaamu Alaikum," dan menyambutmu dengan pemuliaan dan jamuan. Yang demikian itu karena mereka mengikuti adat Islam dalam menghormati tamu, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi SAW Apabila kamu makan bersama mereka maka kamu akan mendapatkan mereka memulai makan dengan membaca bismillah, makan dengan tangan kanan, lalu mengakhirinya dengan bacaan hamdallah, dan mereka tidak akan menyuguhkan kepadamu daging babi ataupun khamr.
Dalam tata kehidupan dan tradisi Islam itu seorang Muslim ke mana saja ia pergi ia merasa seakan bertemu dengan keluarganya dan saudara-saudaranya, tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali dalam hal-hal tertentu yang berkenaan dengan kondisi lingkungan.
3. Mudah dan Sederhana
Sesungguhnya tradisi Islam dan tata cara kehidupannya ditegakkan berdasarkan fithrah dan berorientasi kepada kemudahan, menjauhi keberatan dan kesulitan serta jauh dari sikap berlebihan.
Di antara bukti dari kemudahan dan kesederhanaan itu adalah dimudahkannya segala urusan, disedikitkannya beban kewajiban, dan diringankannya dari ketidakteraturan kerja, waktu dan harta, yang tanpa adanya itu semua akan merugikan masyarakat. [10]
[1]Soejono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jogjakarta: UI Jogjakarta, 1974), hlm. 87
[2]Ibid.
[3] Alpizar, Islam dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Tentang Perubahan Masyarakat, (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2008 ), hlm. 52
[4]Supriyadi, Sosialisme Islam, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 69
[5]Qardhawi, Yusuf, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah, (Jakarta: Citra Islami Press, 1997), hlm. 88
[6]Ibid.
[7]Ibid. hlm. 89
[8]Nurdin, Ali, Quranic society: menelusuri konsep masyarakat ideal dalam Al-Qur'andanSunnah, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 115
[9]Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar