| ||||
IRWAN SALEH DALIMUNTHE
Padangsidimpuan adalah kota kecil yang sangat memungkinkan dikembangkan menjadi kota Pendidikan. Karena sejak awal kota ini tumbuh, hampir saja menjadi pusat penempaan dan penyedia jasa pendidikan untuk wilayah sumatera tenggara, baik formal maupun non-formal--dengan berbagai jenis mulai dari lembaga penyiapan tenaga profesi, akademisi, keguruan sampai keagamaan. Tidak mengherankan bahwa di awal tahun 70-an, tidak ada sebuah kota tingkat dua di Sumatera Utara khususnya yang bisa disetarakan dengan kepiawian (tokoh) Padangsidimpuan dari sisi keperdulian terhadap pendidikan. Katakan saja, hadirnya IKIP Medan Cabang Padangsidimpuan, Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara di Padangsidimpuan, STKIP, UBENHUR dan UMTS, dll. Tapi sangat disayangkan dua perguruan tinggi negeri yakni IKIP dan IAIN, hanya satu tersisa yang bertahan dengan status negeri yakni Fakultas Tarbiyah IAIN SU kini menjadi STAIN. IKIP yang paling berpeluang menjadi emberio universitas negeri justru diswastakan, kendati ketika itu di tahun 80-an bila diseriusi memungkinkan untuk memunculkan nomenklatur baru semacam Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan dan Keguruan Negeri Padangsidimpuan. Namun yang muncul adalah Universitas Graha Nusantara (UGN) dengan status swasta. Padahal dengan perubahan status itu bukan menjadi sebuah momen meningkatkan kualitas mutu akademik, tapi justru mengundang sebuah musibah sejarah munculnya stagnasi pengembangan potensi akademik di Padangsidimpuan. Karena peluang memperoleh binaan langsung dari Dirjen DIKTI di Departemen atau Kementerian Pendidikan Nasional terputus sudah dan diambil alih Kopertis Wilayah, notabene bertengger di bahu sebuah PTN di Sumatera Utara. Risiko kejatuhan itu, terasa sekali ketika berbagai lembaga pendidikan tinggi di bawah Diknas membuka peluang untuk studi lanjut bagi para dosennya untuk jenjang S-2 dan S-3. Bagi mereka di Padangsidimpuan hilanglah sudah, karena dosen IKIP Negeri Padangsidimpuan justru menjadi dosen diperbantukan di berbagai PTS yang ada sehingga berkurang kesempatan bagi mereka untuk studi lanjut dengan alasan biaya studi. Lebih naïf lagi yang semula tiap tahun bisa muncul dosen muda melalui rektrutmen calon dosen (CPNS) tentu sekaligus kesempatan itu berlalu sedemikian. Termasuk para calon mahasiswapun mulai berkurang dikarenakan mereka yang memilih belajar di Padangsidimpuan adalah barisan yang gagal di seleksi penerimaan mahasiswa PTN. Tentu itu semua mempermiskin munculnya pertumbuhan kelompok intelektual atau akademisi di Padangsidimpuan. Kalaupun tidak merupakan sebuah kecelakaan keilmuan di daerah Pantai Barat. Hari ini, bencana kemiskinan intlektual itu telah nyata dan terasa menimpa masyarakat kita. Kita lihat saja betapa tidak kokohnya lagi dasar dan pondasi kehidupan kita yang hampir dalam segala aspek dan bidang keseharian kita berkembang dengan sangat bersahaja dan saporadis bahkan dalam segi tertentu jauh melenceng dari yang dikehendaki. Ini disebabkan akar budaya kehidupan yang penuh dengan semangat egalitariansme telah tercabut dan terdongkel digantikan nilai baru yang sungguh banyak sekali sangat asing bagi kita. Ini dikarenakan masyarakat tidak punya sandaran berpikir karena ketiadaan pakar yang membimbing. Kalaupun masih ada yang tumbuh tidak sedemikian signifikan lagi dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat, karena perguruan tinggi negeri sebagai lumbung peretasan bibit itu telah dibonsai alam. Ironisnya, pemerintah daerahnya pun saat ini sudah mulai dipimpin orang-orang yang tidak punya latar belakang akademis yang kuat karena mereka diangkat hanya bermodalkan kemampuan mereka dalam membakar dan memicu hubungan yang bersifat emosional sesaat dengan konsituen--sama sekali bukan dengan kematangan pertimbangan rasional yang dibangun dalam sebuah menejemen berorientasi pengembangan masyarakat yang wajar (social engenering). Menyebabkan masyarakat kita berjalan menuju arah nasib yang sedemikian kabur, karena mereka hidup persis sebagai kelompok tanpa panutan. Melihat semua bencana ini, maka saat ini tidaklah terlalu terlambat--manakala para pemimpin di wilyah Tabagsel bersungguh-sungguh memunculkan kembali universitas atau perguruan tinggi negeri--sebagai tempat penyamaian bibit-bibit yang akan menjadi pakar dan pemimpin masa depan daerah ini. Sekali lagi ditegaskan masyarakat kita perlu pendampingan para pakar. Maka usaha penegerian UGN sesuatu yang harus didukung seluruh elemen masyarakat, tentu menuju ke sana patutlah ada perhatian istimewa. Khususnya dalam percepatan peningkatan kualitas para dosen wajib ditempuh khususnya meningkatkan kualifikasi pendidikannya. Sebab mustahil bisa menjadi negeri ketika para dosennya di setiap prodi tidak berpendidikan minimal jenjang S-2 yang linier. Akan halnya STAIN Padangsidimpuan, masyarakat dan pemerintah sekaligus perlu mengubah cara pandang serta adil terhadap lembaga ini; bahwa STAIN bukanlah lembaga yang mengurus agama tapi lembaga yang mengurus pendidikan. Masalahnya adalah STAIN itu ada pada wilayah Satker Kementerian Agama yang saat ini banyak bekerja dalam mengembangkan ilmu-ilmu keIslaman (keagamaan), akan tetapi sebagai lembaga pendidikan, paradigma yang dikembangkan tentang keilmuan tidak terbatas pada soal ilmu keagamaan saja. Sebab Alquran sebagai pijakan pengembangan keilmuan di STAIN ternyata kandungannya hampir dua pertiga membicarakan alam ciptaan Tuhan yang dijadikan sebagai objek kajian keilmuan (sains). Oleh karena itu STAIN itu punya potensi besar untuk menjadi universitas sebagai pusat pengembangan ilmu keislaman (keagamaan), ilmu kealaman (sains) serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sekaligus lembaga yang dapat melahirkan pakar dalam berbagai disiplin keilmuan dengan keistimewaan nilai plus memiliki kekuatan keagamaan, yang sudah pasti modal dan model pendidikan karakter. Yang bahkan dapat dipastikan lulusannyalah yang paling dicari untuk mengubah setting sosial bangsa yang carut marut saat ini sebagai akibat kemiskinan ruhaniah para pemegang kekuasaan saat ini yang nota bene lulusan perguruan tinggi yang mungkin miskin atau mengabaikan wawasan agama/rohaniah. Sekaligus negara yang sedang sakit ini bukan tidak mungkin merupakan indikator bagi kegagalan mengabaikan agama dari lembaga pendidikan? Kesiapan STAIN meretas jalan menuju universitas telah dimulai saat ini, lembaga ini sudah memiliki dosen berpendidikan S-3 pada keempat bidang keilmuan tadi. Punya Doktor bidang kajian Islam (Universitas Aligart India, UIN Jakarta), punya Doktor kajian Hukum (Malaysia), punya Doktor kajian Sains (USU) dan saat ini STAIN sedang menunggu penyelesaian kandidat Doktornya dalam bidang Humaniora (USU), Komunikasi (Malaysia dan UNPAD), Doktor Pendidikan (UNP). Sedangkan berpendidikan S-2 sudah sangat lengkap pada bidang Matematika, Psikologi, Sosiologi, Pendidikan, Bimbingan Konsling, Ekonomi dan Pemikiran Keislaman. Persoalan yang dihadapi sekarang adalah sama persis dengan lembaga pendidikan lain yang ada di Padangsidimpuan. Bahwa dalam mengembangkan pendidikan tinggi semacamnya terkesan bahwa urusannya bukanlah tanggung jawab pemerintahan di daerah Tabagsel dan Sumatera Utara. Padahal sesungguhnya yang memanfaatkan lembaga ini adalah masyarakat di daerah ini yakni warga Tabagsel-penduduk Sumatera Utara. Benar kita punya gubernur, para bupati, memiliki perwakilan (DPRD) sebagai lembaga penampung aspirasi dan paling paham keadaan masyarakat. Maka saatnyalah lembaga pendidikan tinggi ini didukung penuh dan mendapat perhatian karena kejayaan lembaga ini merupakan kunci menuju masyarakat tabagsel yang kuat, warga Sumatera Utara khususnya Tabagsel yang handal. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar