By: mhd. Nambin lubis
INTELIGENSI [1]
A. INTELIGENSI
Inteligensi merupakan kemampuan yang dibawa sejak lahir dan dianggap sebagai kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia, yang dengan kemampuan inteligensi ini memungkinkan seseorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Inteligensi dapat juga dipahami sebagai kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuaian terhadap suatu situasi atau masalah kemampuan yang bersifat umum untuk mengadakan penyesuain terhadap suatu situasi atau masalah kemampuan yang berisifat umum tersebut meliputi berbagai jenis psikis seperti abstrak, berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat bahasa dan sebagainya.
Inteligensi ini bersifat memberikan (given) pada manusia, dan berfungsi sejak lahir dalam memengaruhi tempo dan kualitas perkembangan dan individu. Dalam perkembangannya, fungsinya akan semakin berarti bagi manusia dalam memengaruhi kualitas penyesuaian dirinya dengan lingkungannya. Dalam fungsinya yang disebutkan terakhir inteligensi lebih terlihat sebagai kemampuan mental yang di dapat dari hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai oleh individu.1
Pengertian lain tentang inteligensi beberapa ilmuwan dan psikolog menjelaskan bahwa inteligensi ialah suatu kemampuan, umum yang merupakan suatu kesatuan. Sementara tokoh lainnya berpendapat, bahwa inteligensi bergantung pada banyaknya kemampuan yang saling terpisah. Pendapat lain mengenai inteligensi dapat diuraikan sebagai berikut:
- Inteligensi merupakan kemampuan yang tunggal Charles Spearman (1863-1945) menyimpulkan bahwa semua tugas dan prestasi mental hanya menuntut dua macam kualitas saja, yaitu inteligensi umum (general factor) dan keterampilan individu dalam hal tertentu (spesific factors). Misalnya, ketika seorang harus memecahkan soal aljabar, maka yang dibutuhkan ialah inteligensi umum dan pemahamannya akan berbagai rumus dan konsep aljabar itu sendiri.
- L.L Thurstone (1887-1955) seorang ahli dibidang listrik di Amerika yang kemudian menerjunkan diri dalam pembuatan tes, lebih menekankan aspek terpisah-pisah dari inteligensi.
- William Stern mengemukakan inteligensi aadalah kesanggupan jiwa untuk dapat menyesuaikan diri dengan cepat dan tepat dalam suatu situasi yang baru dengan menggunakan alat-alat bepikir yang sesuai dengan tujuannya. William Stern berpendapat, bahkan inteligensi sebagian besar tergantung dengan dasar dan turunan.
- Menurut V. Heas inteligensi ialah sifat kecerdasan jiwa
- Menurut Prof. Kohnstern berpendapat bahwa inteligensi itu dapat dikembangkan, tetapi memenuhi syarat-syarat tertentu dan hanya mengenai segi kualitasnya saja, syarat-syarat itu ialah:
a. Bahwa pengembangan itu hanya sampai batas kemampuannya saja. Pengembangan tidak dapat memiliki batas itu dan setiap orang mempunyai batas-batas yang berlebihan.
b. Terbatas juga pada mutu inteligensi, artinya seseorang tidak akan selesai mengerjakan sesuatu data mutu inteligensinya
c. Perkembangan inteligensi, bergantung pula pada cara berpikir yang metodis
- Menurut Prof. Waterink seorang maha guru di Amsterdam menyatakan, bahwa menurut penyelidikannya belum dapat dibuktikan bahwa inteligensi dapat diperbaiki atau dilatih.
Dari batasan yang dikemukakan diatas, dapat kita ketahui bahwa:
a. Inteligensi itu ialah faktor total. Berbagai macam daya jiwa erat berasangkutan di dalamnya (ingatan, fantasi, perasaan, perhatian, minat dan sebagainya turut mempengaruhi inteligensi seseorang)
b. Kita hanya dapat mengetahui inteligensi dari tingkahlaku atau perbuatannya yang tampak. Inteligensi hanya dapat kita diketahui dengan cara tidak langsung melalui “kemampuan inteligensinya”
c. Bagi suatu perbuatan inteligensi bukan hanya kemampuan yang dibawa sejak lahir saja yang penting faktor-faktor lingkungan dan pendidikan memegang peranan
d. Bahwa manusia itu dalam kehidupannya senantiasa dapat menentukan tujuan-tujuan yang baru, dapat memikirkan dan menggunakan cara-cara untuk mewujudkan dan mencapai tujuan itu.
1. Teori-teori Tentang Inteligensi
a. Teori “Uni-Faktor”
Pada tahun 1911, Welhelm Stern memperkenalkan suatu teori tentang inteligensi yang disebut “Uni-Faktor Theory”. Teori ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori ini inteligensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum.
b. Teori “Two-Faktors”
pada tahun 1904, yaitu sebelum Stern, seorang ahli matematika bernama Charles Spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman itu dikenal dengan sebutan “Two kinds of factors theory”.
c. Teori “Multi-Factor”
Teori inteligensi multi Faktor dikembangkan oleh E.L. Thorndike. Teori ini tidak berhubungan dengan konsep general ability atau faktor “G”. Menurut teori ini, inteligensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respons. Hubungan-hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan tingkahlaku individu.
d. Teori “Primari-Mental-Ability”
L.I. Thurstone telah berusaha menjelaskan tentang organisasi yang abstrak. Ia dengan menggunakan tes-tes mental serta teknik-teknik statistik khusus membagi inteligensinya menjadi tujuh kemampuan primer, yaitu:
- Kemampuan numeral/matematika
- Kemampuan verbal, atau bahasa
- Kemampuan abstraksi berupa visualisasi atau pikir
- Kemampuan untuk menghubungkan kata-kata
- Kemampuan membuat keputusan baik induktif, maupun deduktif
e. Teori “Sampling”
Untuk menyelesaikan tentang inteligensi, Goldfrey H. Thomson pada tahun 1916 mengajukan sebuah teori yang disebut teori sampling. Teori ini kemudian disempurnakan lagi dari berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai pengalaman itu terkuasai oleh pikiran manusia tetapi tidak semuanya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inteligensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi inteligensi sehingga terdapat perbedaan inteligensi seseorang dengan yang lain, ialah:
a. Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan kita yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal. Pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita, otang tua itu ada pintar dan ada yang bodoh. Meskipun menerima latihan dan pelajaran yang sama, perbedaan-perbedaan itu mash tetap ada.
b. Kematangan
Tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Tiap organ (fisik atau psikis) dapat dikatakan telah matang, jika ia telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
c. Pembentukan
Pembentukan ialah segala keadaan diluar diri seseorang yang memengaruhi perkembangan inteligensi. Dapat kita bedakan pembentukan sengaja (seperti yang dilakukan disekolah-sekolah dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
d. Minat dan Pembawaan Khas
Minat mengarahkan perbuatan pada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan-dorongan (motif-motif) yang mendorong manusia untuk berintekrasi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia
e. Kebebasan
Kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode. Metode yang tertentu dalam memecahkan maslaah-masalah. Manusia mempunyai kebebasan-kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih maaslaah sesuai dengan kebutuhannya.
3. Pengukuran Inteligensi
Masing-masing individu berbeda-beda segi inteligensinya karena individu satu dengan yang lain tidak sama kemampuannya dalam memecahkan sesuatu persoalan yang dihadapi. Mengenai perbedaan soal inteligensi ini adanya pandangan yang menekankan perbedaan kualitatif dan pandangan yang menekankan perbedaan kuantitatif. Pandangan yang pertama berpendapat bahwa perbedaan inteligensi individu satu dengan yang lain memang secara kualitatif berbeda. Jadi, pada dasarnya memang berbeda. Sedangkan yang memberatkan pandangan yang kuantitatif berpendapat, bahwa perbedaan intligensi satu sama lainnya hanyalah bersifat kuantitatif jadi semata-mata karena perbedaan materi yang diterima atau karena perbedaan dalam proses belajarnya.
Adapun tes inteligensi yang standar antara lain:
1. Tes Binet-Simon
Orang berjaasa menemukan tes inteligensi pertama kali ialah seorang dokter Perancis: Alfred Binet dan pembantunya Theadore Simon sehingga tesnya terkenal dengan nama Biner-Simon. Ciri tes dari Binet-Simon ini pertama kali diumumkan antara 1908-1911 yang diberi nama “chelle matrique del intelegece” atau skala pengukuran kecerdasan.
Tes bInet-Simon itu memperhitungkan dua hal, yaitu:
- Unsur kronologis (chronological age-disingkat CA) yaitu unsur seseorang sebagaimana yang ditunjukkan dengan hari kelahirannya atau lamanya ia hidup sejak tanggal lahiornya
- Umur mental (mental age-disingkat MA), yaitu umur kecerdasan sebagaimana yang ditunjukkan oleh tes kemampuan akademik.
2. Tes Weschsler
Ini adalah tes inteligensi yang dibuat oleh Wechsler Bellevue tahun 1939. tes ini ada dua macam pertama untuk umur 16 tahun keatas, yaitu Wechsler Adult Inteligence Scale (WAIS) dan kedua untuk anak-anak yaitu Weschslar Inteligence Scale for Children (WISC). Tes Weschsler meliputi dua subverbal dan performance (tes lisan atau perbuatan keterampilan). Tes lisan meliputi pengetahuan umum, pemahaman, ingatan, mencari kesamaan, hitungan dan bahasa. Sedangkan tes kedterampilan meliputi menyusun gambar dan sandi (kode angka-angka).
3. Tes Army Alfa dan Betha
Tes ini digunakan untuk mengetes calon-calon tentara Amerika Serikat. Tes Army Alfa khusus untuk calon tentara yang pandai membaca, sedangkan Army Betha untuk calon tentara yang tidak pandai membaca. Tes ini diciptakan pada mulanya untuk memenuhi keperluan yang mendesak dengan menyeleksi calon tentara waktu perang dunia dua. Salah satu kelebihannya dibandingkan dengan tes Binet –Simon tes Weschslerini dilaksanakan secara rombongan (kelompok) sehingga menghemat waktu.
4. Tes Progressive Matrices
Tes inteligensi ini diciptakan oleh L.S. Penrose dan J.C. Laven di Inggris tahun 1938. tes ini dapat diberikan secara rombongan dan perorangan. Berbeda dengan Binet dan Weshhsler, tes itu tidak menggunakan IQ tetapi menggunakan Percentile.
5. Arti IQ
Lewis Terman (1877-1956) seorang psikolog Amerika yang bekerja pada Universitas Standford, membuat revisi skala Binet-Simon tersebut. Dia mengusahakan agar tes itu dapat diterima oleh warga Amerika, dan ternyata dapat diterima secara luas pada tahun 1916. pada saat itu Terman menggunakan istilah Inteligensi Quotient, dengan singkatan IQ.
Kreativitas
Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk memecahkan persoalan yang memungkinkan orang tersebut memecahkan ide yang asli atau menghasilkan suatu yang adaptis (fungsi kegunaan) yang secara penuh berkembang. Kreativitas dan kecerdasan seseorang tergantung pada kemampuan menatal yang berbeda-beda. Kreativitas menurut J.P. Guliford disebut berpikir divergen, yaitu aktivitas mental yang asli, murni dan baru, yang berbeda dadri pola pikir sehari-hari dan menghasilkan lebih dari satu pemecahan persoalan.
B. PENGUKURAN INTELIGENSI
Semenjak para ahli psikologi mulai mengadakan cara pendekatan secara emprisis, maka pengukuran inteligensi itu telah banyak menarik para ahli, terlebih-lebih setelah gerakan pengukuran dalam lapangan psikologi maju dengan pesat. Dalam pembahasan mengenai pengukuran inteligensi ini pada hemat penulis jalan yang paling baik ialah secara historis , jadi mengemukakan sejarah usaha para ahli dalam bidang ini, yang sekaligus juga menunjukkan teknik-teknik yang dipergunakan dalam penyelidikan atau pengukuran inteligensi itu, serta penilaian mengenai usaha-usaha tersebut.
Kalau kita menempuh cara historis ini, maka secara teknis dapat kita lalui dua jalan, yaitu:
- Mengemukakan sejarah perkembangan usaha para ahli dalam bidnag ini, dengan maksud memberikan gambaran yang bersifat umum mengenai persoalannya.
- Mengemukakan sejarah perkembangan test inteligensi model Binet, karena model inilah yang sampai dewasa ini dianggap oleh kebanyakan ahli sebagai yang paling baik, dan karenanya juga paling banyak yang dipakai terutama untuk menyelidiki anak-anak yang masih muda. [2]
C. TEORI-TEORI TENTANG INTELIGENSI
Untuk lebih memperjelas pengertian inteligensi, berikut ini dikemukakan beberapa teori tentang inteligensi.
a. Teori Uni-Fa ctor
Pada tahun 1911, Wilhelm Stem memperkenalkan suatu teori tentang inteligensi yang disebut “Uni factor theory”. Teori ini dikenal pula sebagai teori kapasitas umum. Menurut teori ini, inteligensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Karena itu cara kerja inteligensi juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri tehadap lingkungan atau memecahkan sesuatu masalah adalah bersifat umum pula.
b. Teori Two-Factor
Pada tahun 1904 yaitu sebelum Stem, seorang ahli matematika bernama Charles spearman, mengajukan sebuah teori tentang inteligensi. Teori Spearman itu terkenal dengan sebutan “Two Kinds of Factor Theory”.
Spearman mengembangkan teori inteligensi berdasarkan suatu faktor mental umum yang diberi kode “g” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “s”. Faktor “g” mewakili kekuatan mental individu, sedangkan faktor-faktor “s” menentukan tindakan-tindakan mental mengatasi permasalahan. [3]
D. SIFAT HAKIKAT INTELIGENSI
Inti persoalan daripada sifat hakikat inteligensi itu dapat dirumuskan dengan pertanyaan: “Apakah inteligensi itu ?”. Pertanyaan ini justru dalam bentuknya yang demikian itu menjadi objek diskusi yang hangat bagi banyak ahli-ahli psikologi, terutama disekitar tahun 1900-1925. Persoalannya sendiri sebenarnya telah tua sekali, lebih tua daripada psikologi sendiri, karena hal tersebut telah dibahas oleh ahli-ahli filsafat dan kemudian ahli-ahli biologi sebelum psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri.
Para ahli psikologi yang mula-mula membahas masalah tersebut, yaitu sifat hakikat inteligensi, memakai metode filsafat, yaitu mereka menyusun defenisi mengenai inteligensi itu atas dasar pemikiran spekulatif-logis. Dalam pada itu pada waktu yang bersamaan dengan kejadian yang dikemukakan diatas itu tes-tes yang mula-mula berhasil disusun oleh beberapa ahli. Sepanjang pengalaman penulis tidaklah selalu ada hubungan yang jelas antara defenisi mengenai inteligensi dan pengukuran inteligensi yang diajukan oleh seseorang ahli psikologi.
Cara pendekatan ini filsafat itu sampai sekarang masih banyak diikuti oleh ahli-ahli di eropa Daratan dan daerah pengaruhnya, sedangkan ahli-ahli di daerah Anglo-Saksis (terutama Amerika Serikat dan inggris) sedikit demi sedikit makin mengutamakan diskusi dan analisis mengenai data, hasil berbagai eksperimen dan meninggalkan cara analisis logis spekulatif itu, yang dipandang lepas dari kata empiris.
Dalam pada itu apabila kita menumpahkan perhatian kita kepada data empiris itu, maka segera ternyata bagi kita bahwa masalah sifat hakikat inteligensi itu berjalinan rapat dengan masalah-masalah lain, seperti misalnya:
- Bagaimakah jalan perkembangan inteligensi itu pada anak-anak yang normal dan pada anak-anak kurang normal ?
- Sejauh manakah perkembangan inteligensi itu dipengaruhi oleh faktor-faktor dasar, dan sejauhmana dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan ?
- Bagaimana kita dapat membedakan inteligensi dan prestasi belajar sebagai hasil didikan ?
Sekitar tahun-tahun 1920-1930 sejumlah proyek-proyek penelitian yang telah dilakukan orang untuk dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan diatas itu. Analisis dan pembahasan mengenai hasil-hasil tersebut kiranya memberikan kepada semua pihak yang turut ambil bagian bahwa tidak ada satu masalah pun yang dapat dijawab secara memuaskan tanpa menimbulkan maslaah lain yang sama sulitnya.
Dewasa ini kebanyakan ahli yang secara aktif melakukan penelitian dalam bidang inteligensi tidak berusaha menjawab persoalan yang luas yang diketengahkan di muka, yaitu: “Apakah inteligensi itu ?, akan tetapi mereka memusatkan pengupasan masalah-masalah yang lebih khusus, seperti misalnya:
- Bagaimanakah struktur mental orang dewasa ?
- Bagaimanakah struktur mental itu berubah-ubah dengan bertambahnya umur?
- Apakah seseorang itu dalam hal inteligensi akan tetap pada kelompok tertentu ataukah dia akan berubah/berpindah ke kelompok lain ?
Disini secara garis besar akan dikemukakan berbagai konsepsi mengenai inteligensi itu, yang merupakan jawaban bagi pertanyaan “Apakah intelgensi itu ?” yang tersebut dimuka. Konsepsi-konsepsi tersebut pada dasarnya digolong-golongkan menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif
2. Konsepsi-konsepsi yang bersifat pragmatis
3. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis faktor yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi faktor
4. Konsepsi-konsepsi yang bersifat opaerasional
5. Konsepsi-konsepsi yang didasarkan atas analisis fungsional, yang kiranya dapat kita sebut konsepsi-konsepsi fungsional
1. Konsepsi-konsepsi Mengenai Inteligensi yang Bersifat spekulatif-filsafati
Sopearman, dalam bukunya yang terkenal, yaitu The Abilities of man (1927) mengelompokkan konsepsi-konsepsi yang bersifat spekulatif-filsafati itu menjadi tiga kelompok, yaitu:
- Yang memberikan defenisi mengenai inteligensi umum
- Yang memberikan defenisi mengenai daya-daya jiwa khusus yang merupakan bagian daripada inteligensi
- Yang memberikan defenisi inteligensi sebagai taraf umum daripada sejumlah besar daya-daya khusus
a. Inteligensi Umum
· Ebbinghaus (1897) memberi defenisi inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi
· Terman (1921) memberi defenisi inteligensi sebagai kemampuan untuk berpikir abstrak
· Thorndike memberi defenisi inteligensi sebagai hal yang dapat dinilai dengan taraf ketidaklengkapan daripada kemungkinan-kemungkinan dalam perjuangan hidup individu
b. Inteligensi sebagai Kesatuan daripada daya-daya Jiwa Formal
Walaupun secara konsepsional teori psikologi daya itu telah ditinggalkan ornag, namun pengaruh aliran tersebut sampai kini masih terasa sekali. Dan konsepsi-konsepsi daya mengenai inteligensi ini dapat dikatakan merupakan kelanjutan pengaruh psikologi daya itu. Jadi menurut konsepsi ini inteligensi adalah persatuan (kumpulan yang dipersatukan) daripada jiwa-jiwa khusus. Karena itu pengukuran mengenai inteligensi juga dapat ditempuh dengan cara mengukur daya-daya jiwa khusus itu misalnya daya mengamati, daya mereproduksi, daya berpikir dan sebagainya.
c. Inteligensi sebagai taraf Umum daripada Daya-daya Jiwa Khusus
Konsepsi-konsepsi ini timbul dari keyakinan, bahwa apa yang diselidiki (dites) dengan tes inteligensi itu adalah inteligensi umum. Jadi inteligensi diberi defenisi sebagai taraf umum yang mewakili daya-daya khusus.
2. Konsepsi-konsepsi yang Bersifat Pragmatis
Dasar dari konsepsi ini kiranya adalah yang dinyatakan oleh Boring, bahwa inteligensi adlaah apa yang dites oleh tes inteligensi, dkia menulis antara lain:
“inteligence is what the tests test. This is norrow definition, but is the only point of departure for a rigorous discussion of the test. It would be better if the psychologists could have used some other and more technical term; since the ordinary connotation intelligence is much broader. The damage is done, however, and no harm need result if we but remember that measurable intelligence is simply what the tet of inteligence test, until further scientific observation allows us to extend the defenition”.
Konsepsi ini cocok sekali dengan selera banyak ahli di Amerika Serikat. Kurang radikal daripada pendapat Boring itu ialah pernytaan Terman, bahwa inteligensi itu dapat diukur dengan pengetahuan tentang listrik; pengukuran terhadap listrik tergantung kepada defenisi yang diberikannya, panasnya, alirannya dan sebagainya.
Jika sekiranya ini benar, maka sebenarnya dengan tes itu kita tidak mendapatkan pengetahuan baru sama sekali karena yang kita ukur itu kita sudah mengerti sebelumnya.[4]
E. PERKEMBANGAN SPRITUALITAS
Tahap Perkembangan Kepercayaan Fowler
Jamer W. Fowler dalam buku Stages og Faith mengembangkan teori tentang tahap perkembangan dalam keyakinan seseorang (stages of faith development) sepanjang rentang kehidupan manusia. Menurut fowler, kepercayaan merupakan orientasi holistik yang menunjukkan hubungan antara individu dengan alam semesta. Buku ini memberikan pemikiran baru bagi mereka yang memiliki kepentingan dalam beragama, dan cukup populer bagi mereka yang tertarik dengan psikologi transpersonal. Buku ini banyak didasarkan pad apemikiran Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg dalam perkembangan psikologi anak-anak dan dewasa.
Teori perkembangan spritual Fowler terbagi atas enam tahap, yang m,eliputi kepercayaan intuitif-proyekyif (intuitive-projective), mythikalliteral (mythical-literal), sintetik konvensional (synthetic-conventional), individuatif-reflektif (individuative-reflective), konjungtive (conjunctive) dan universal (universalizing). Pada tahap pertama, kepercayaan intuitif-proyektif (usia 3-7 tahun), masih terdapat karakter kejiwaan yang belum terlindungi dari ketidaksadaran. Anak masih belajar untuk membedakan khayalannya dengan realitas yang sesungguhnya. Pada tahap kedua, kepercayaan mythikal-literal (usia sekolah), seseorang telah mulai mengembangkan keimanan yang kuat dalam kepercayaannya. Anak juga sudah mengalami prinsip saling ketergantungan dalam alam semesta, namun ia masih melihat kekuatan kosmik dalam bentuk seperti yang terdapat pada manusia (anthropomorphic). Pada tahap ketig, kepercayaan sintetik-konvensional (usia remaja), seseorang mengembangkan karakter keimanan terhadap kepercayaan yang dimilikinya. Ia mempelajari sistem kepercayaannya dari orang lain disekitarnya, namun masih terbatas pada sistem kepercayaan yang sama. Tahap keempat, kepercayaan individuatif-reflektif (usia dua puluh sampai awal empat puluhan), merupakan tahap percobaan dan pergolakan, dimana individu mulai mengembangkan tanggungjawab pribadi terhadap kepercayaan dan perasaannya. Individu memperluas pandangannya untuk mencapai jalan kehidupannya. Pada tahap kelima, kepercayaan konjungtif, seseorang mulai mengenali berbagai pertentangan yang terdapat dalam realitas kepercayaan. Terjadi transendensi terhadap kenyataan dibalik simbol-simbol yang diwariskan oleh sistem. Pada tahap keenam, kepercayaan universal, terjadi sesuatu yang disebut pencerahan. Manusia mengalami transendensi pada tingkat pengalaman yang lebih tinggi sebagai hasil dari pemahamannya terhadap lingkungan dan konpliktual dan penuh penuh paradoksal. Menurut Fowler, kebanyakan manusia berhenti pada tahap empat, dan kebanyakan tidak pernah mencapai tahap lima dan enam.
Teori Fowler banyak dipertanyakan, baik dari persfektif psikologi maupun teologi dan dianggap belum memiliki faliditas empirik. Mekipun terdapat bukti bahwa anak berusia 12 tahun cenderung berada pada dua tahap awal perkembangan, namun tidak terdapat bukti pada orang dewasa yang berusia enampuluhan tahun memiliki variasi yang diperlihatkan pada tahap tiga keatas. Model ini mendapat serangan dari metode ilmiah, karena kelemahan metodologi. Kritik lain mempertanyakan apakah tahap ini menunjukkan komitmen Fowler sendiri terhadap agamanya sendiri, sehingga ornag yang seperti Fowler berada dalam tahap perkembangan spritual tertinggi. Namun, teori Fowler mendapatkan tempat pada lingkaran akademik keagamaan, dan menjadi titik awal yang penting untuk berbagai teori dan penelitian lanjutan.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Hasan B. Purwakania Aliah, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2008.
Shaleh Rahman Abdul, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Persfektif Islam, Jakarta : Kencana, 2009.
Suemanto Wasty, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998
Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2002
Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1995.
[1] Ditulis dalam Rangka Pemenuhan Tugas Pribadi Mata Kuliah Psikologi Umum, Semester I, Jurusan Tarbiyah, Prodi PAI, Tahun Ajaran 2012-2013.
*Mahasiswa yang Menulis Makalah Pribadi Mata kuliah Psikologi Umum, Dosen Pembimbing Drs. H. Agus Salim Daulay, M.Ag. Sebagai Dosen Pengampuh Mata Kuliah Psikologi Umum Semester I, Jurusan Tarbiyah PAI – 1
1 Abdul Rahman Shaleh, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Persfektif Islam, (Jakarta : Kencana, 2009). Hlm. 251-271.
[2] Sumadi Surya Brata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1995), hlm. 139-140.
[3] Drs. Wasty Suemanto, M.Pd, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 143-144.
[4] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grapindo Persada, 2002.), hlm. 122-126
[5] Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 2008), hlm. 297-299.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar