Kamis, 22 Mei 2014

KARAKTRISTIK GURU PROFESIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM










NAMA                   : MUHAMMAD NAMBIN LUBIS
NIM                        : 10. 310 0024

KARAKTRISTIK GURU PROFESIONAL
DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.                 Pengertian Guru Profesional
Sebelum mengetahui maksud dari guru profesional. Maka alangkah baiknya, terlebih dahulu  mengetahui apa arti dari kata guru dan profesi. Kata guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia diartikan dengan orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar.[1]Sedangkan arti profesional adalah bersangkutan dengan profesi atau memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.[2] Kalau digabungkan maka pengertian guru profesional adalah seseorang yang ahli dalam hal mengajar.
Salah satu tokoh pendidikan Islam mengartikan guru secara umum memiliki tanggungjawab mendidik. Secara khusus, guru adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan murid dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi murid, baik potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik.[3]
Sedangkan Syaiful Sagala dalam mengartikan profesional adalah seseorang yang ahli dalam pekerjaannya. Dengan keahliannya, dia melakukan pekerjaannya secara sungguh-sungguh. Bukan hanya sebagai pengisi waktu luang atau malah main-main.[4]
Selain itu juga, banyak tokoh pendidikan yang mendefinisikan guru profesional. Seperti halnya Moh. Uzer Usman mengartikan guru profesional adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan. Sehingga ia mampu melakukan tugas dan tujuannya sebagai guru dengan maksimal.[5]
Berbeda dengan pendapat tokoh pendidikan di atas. Zakiah Drajat mengartikan guru secara otomatis itu sudah profesioal. Dia berpendapat bahwa pada dasarnya tugas mendidik dan membimbing anak adalah mutlak tanggung jawab orang tua. Tapi karena alasan tertentu orang tua menyerahkan tugas itu kepada guru.[6]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah seseorang yang mempunyai keahlian atau kemampuan khusus membimbing membina peserta didik, baik dari segi intelektual, spiritual, maupun emosional.
Dan profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan, sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:[7]
Atinya: Apabila suati perkara diberikan kepada yang bukan ahlinya mak tunggulah akan kehancurannya (HR. Bukhari).
Di dalam al-Qur’an Allah juga berfirman dalam Q.S. al-Isra’ ayat 84 yaitu:
Artinya: “Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
B.        Kompetensi Guru Profesional

Ketika seseorang dikatakan ahli, tentu dia mempunyai kompetensi dalam bidang yang ia kuasai. Guru profesional juga mempunyai kompetensi yang harus dimiliki. Moh. Uzer Usman menyebutkan sedikitnya ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh guru.[8] Yaitu, kompetensi kepribadian dan profesionalisme. Dalam kompetensi pribadi, yang di dalamnya memuat berbagai kemampuan yang harus dimiliki, seperti berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi sekolah, dan melakukan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.
Selain kompetensi pribadi, seorang guru profesional juga dituntut mengusai kompetensi kewajibannya sebagai guru. Yakni, kompetensi profesional. Hal ini mensyaratkan seorang guru profesional harus mengetahui dan melaksanakan dua point. Yaitu, landasan pendidikan, dan menyusun program pengajaran.
Dari dua kompetensi tersebut diatas, Syaiful Sagala dalam Buku Kemampuan Profesioanal Guru dan Tenaga Kependidikan menambahkan satu kompetensi lagi bagi seorang guru profesional, yaitu kemampuan sosial.[9]
Dari sini dapat di ketahui, bahwa menjadi guru profesional minimal mempunyai tiga kompetensi. Kompetensi tersebut adalah kompetensi pribadi, profesi, dan sosial. Jika salah satu kompetensi tidak dikuasai, maka bisa berakibat nilai dan tujuan pendidikan tidak bisa dicapai. Hal ini tentu sangat berpengaruh, karena sosok seorang guru mempunyai peran yang sangat besar dalam mensukseskan tujuan, visi, dan misi pendidikan.
C.        Peningkatan Kemampuan Profesional Guru

Secara sederhana peningkatan kemampuan profesional guru dapat diartikan dengan upaya membantu guru yang belum matang menjadi matang, yang tidak kualifikasi menjadi memenuhi kualifikasi. Kematangan, kemampuan mengolah diri, pemenuhan kualifikasi merupakan ciri-ciri profesional guru.
Dalam peningkatan kemampuan profesional guru minimal mempunyai dua prinsip yaitu prinsip bantuan, dan prinsip bimbingan.[10] Peningkatan kemampuan profesional guru itu merupakan upaya membantu guru yang belum profesinal menjadi profesional. Jadi peningkatan kemampuan profesional guru pada dasarnya datang dari diri seorang guru. Meskipun terdapat berbagai bimbingan yang dilakukan oleh pihak lain.
Peningkatan kemampuan profesional guru tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Seperti hanya membimbing dalam kemampuan pegawai saja itu kurang. Jadi tujuan pembinaan kemampuan profesional guru adalah tumbuh dan berkembangnya kemampuan jiwa profesional pada diri guru.
Di dalam meningkatkan profesionalisme guru harus dilaksanakan secara sistematis dalam artian direncanakan secara matang, taat terhadap tata asas, dan dievaluasi secara obyektif.
D.        Profesionalisme Guru dalam Perspektif Islam
Profesionalisme pada dasarnya berpijak pada dua kriteria pokok, yakni, merupakan panggilan hidup dan keahlian. Panggilan hidup atau dedikasi dan keahlian menurut Islam harus dilakukan karena Allah Swt. Hal ini akan mengukur sejauh nilai keikhlasan dalam perbuatan.
              Dalam Islam pun, apapun setiap pekerjaan (termasuk seorang guru), harus dilakukan secara profesional.[11]Maka, dua hal inilah yakni, dedikasi dan keahlian yang mewarnai tanggung jawab untuk terbentuknya profesionalisme guru dalam perspektif pendidikan Islam. Selain itu, ada ungkapan yang tersirat saat Islam mendefinisikan terminologi “profesionalisme”. Ada aspek yang melibatkan kata profesionalime, yakni melimpahkan suatu urusan atau pekerjaan pada ahlinya.[12]
Tentunya yang menjadi tolak ukur keahlian seorang guru dalam mencapai titik profesionalisme adalah sejauhmana mampu memenuhi dua syarat seperti yang diuraikan sebelumnya, yakni prinsp administrasi dan prinsip operasional. Tentunya, bila aspek ini diabaikan, maka, tinggal menunggu sebuah kehancuran atau tujuan dari pendidikan tidak terpenuhi. Mungkin di antara banyak dampak yang terjadi, salah satunya, guru tidak memiliki kecakapan intelektual sehingga berdampak pada kualitas peserta didik yang menjadi binaannya. Atau juga, melahirkan pendidik yang tidak bermoral sehingga implikasi terhadap anak didik pun ikut tidak bermoral, dan lain sebagainya.
              Dengan demikian keseluruh komponen atau elemen yang mendukung sikap akan terbentuknya profesionalismenya seorang guru, dalam perspektif Islam, guna mensejatikan posisi pendidikan Islam dalam hal pendidik, perlu kiranya disesuaikan dengan nafas Islam yang berlandaskan al-Qur`an dan as-Sunnah.
              Harapan dan cita-cita terbentuk profesionalisme guru dalam perspektif Islam, lebih mengarahkan guru untuk bersikap baik, sopan, moral dan spritualitas. Selayaknya guru dalam tulang punggung pendidikan Islam sangatlah memiliki eksistensi yang kuat. Dalam perspektif Islam pendidik (guru) akan berhasil bila menjalankan tugas dengan baik, memilki pemikiran kreatif, dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesionalisme yang religius.[13]
Menurut Sulani (1981: 64), Agar tujuan pendidikan tercapai, seorang guru harus memiliki syarat-syarat pokok. Syarat pokok yang dimaksud adalah :
  1. Syarat Syahsiyah (memiliki kepribadian yang diandalkan)
  2. Syarat lmiah (memiliki pengetahuan yang mumpuni)
  3. Syarat Idofiyah (mengetahui, mengahayati, dan menyelami manusia yang dihadapinya, sehingga dapat menyatukan dirinya untuk membawa anak didik menuju tujuan yang ditetapkan)
Guru dalam Islam sebagai pemegang jabatan professional membawa misi ganda dalam waktu yang bersamaan, yaitu misi agama dan misi ilmu pengetahuan. Misi agama menuntut guru untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran agama kepada murid, sehingga murid dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan norma-norma agama tersebut. Misi ilmu pengetahuan menuntut guru menyampaikan ilmu sesuai dengan perkembangan zaman.
Dari hasil analisis terhadap sejumlah literature, secara umum profesionalisme guru sebagai pendidik Islam adalah :
  1. Bertaqwa
Dalam kamus Munjid (1986: 915), kata Taqwa berasal dari kata”Waqo-Yaqy-Wiqoyah” yang berarti menjaga, menghindari, menjauhi, takut, dan berhati-hati. Dengan demikian, Taqwa bukan hanya sekedar takut, akan tetapi juga merupakan kekuatan untuk taat kepada perintah Allah SWT. Dengan kesedaran ini, membuat kita menyadari dan meyakini dalam hidup ini bahwa tidak ada jalan menghindar dari Allah, sehingga mendorong kita untuk selalu berada dalam garis-garis yang yang telah Allah tentukan.
  1. Berilmu Pegnetahuan Luas
Islam mewajibkan kepada ummatnya untuk menuntut ilmu, Allah sangat senang kepada orang yang suka mencari ilmu. Oleh karena itu seorang guru harus menambah perbendaharaan keilmuannya. Karerna dengan ilmu orang akan bertambah keimanan dan derajatnya di hadapan Allah “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Al-mujadilah 11).
  1. Berlaku Adil
Secara harfiah, adil berarti lurus dan tegak, bergerak dari posisi yang salah menuju posisi yang diinginkan, adil juga berarti seimbang (balance)dan setimbang (equilibrium), sedangkan menurut Aminudin (Muhammad Nurdin, 2004: 173) adil adalah meletakan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya tidak termasuk memihak antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bertindak atas dasar kebenaran, bukan mengikuti nafsunya.
  1. Berwibawa
Guru yang berwibawa dilukiskan oleh Allah dalam Al-Qur’an, surat Al-Furqon ayat 63 dan 64 “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”. “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”.
  1. Ikhlas
Ikhlas artinya bersih, murni, dan tidak bercampur dengan yang lain. Sedangkan ikhlas menurut istilah adalah ketulusan hati dalam melaksanakan suatu amal yang baik, yang semata-mata karena Allah.Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 162.“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”.

  1.  Mempunyai Tujuan yang Rabbani
Hendaknya guru mempunyai tujuan yang rabbani, di mana segala sesuatunya bersandar kepada Allah dan selalu mentaati-Nya, mengabdi kepada-Nya, mengikuti syari’at-Nya, dan mengenal sifat-sifta-Nya. Jika guru telah mempunyai sifat rabbani, maka dalam segala kegiatan pendidikan muridnya akan menjadi Rabbani juga, yaitu orang-orang yang hatinya selalu bergetar ketika disebut nama Allah  dan merasakan keagungan-Nya pada setiap rentetan peristiwa sejarah peristiwa melintas dihadapannya.“Sesungguhnya orang-orang yang berimanialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”. (QS. Al-Anfaal ayat:2).
  1. Mampu Merencanakan dan Melaksanakan Evaluasi Pendidikan
Perencanaan adalah suatu pekerjaan mental yang memerlukan pemikiran, imajinasi dan kesanggupan melihat ke depan. Dengan demikian seorang guru harus mampu merencanakan proses belajar mengajar dengan baik. Guru yang dapat membuat perencanaan adalah sama pentingnya dengan orang yang melaksanakan rencana tersebut. Oleh karena sebuah perencanaan yang matang dalam sebuah proses belajar mengajar membutuhkan suatu pemikiran dan kesanggupan dalam melihat masa depan, yang akan berhasil manakala rencana tersebut dilaksanakan dengan baik.
Istiah evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “Evalution”. Evaluasi adalah suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu. Evaluasi diartikan juga segala sesuatu tindakan atau proses untuk menentukan nilai segala sesuatu dalam dunia pendidikan atau yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.
Tujuan evaluasi adalah mengetahui kadar pemahaman murid erhadap mata pelajaran, untuk melatih keberanian dan mengajak murid untuk mengingat kembali pelajaran tertentu yang telah diberikan. Jenis-jenis evaluasi yang dapat dierapkan oleh seorang guru dalam pendidikan Islam yaitu “Evaluasi forrmatif, Evaluasi sumatif, Evaluasi penempatan, dan Evaluasi diagnostik”. Syarat-syarat yang dapat dipergunakan dalam evaluasi pendidikan Islam adalah “Validity, Reliable, dan Efisien”. Jenis-jenis evaluasi yang biasanya diterapkan adalah tes tertulis (written test), tes lisan (oral test), tes perbuatan (Performance test).
  1. Menguasai Bidang yang Ditekuni
Guru harus cakap dalam mengajarkan ilmunya, karena seorang guru hidup dengan ilmunya. Guru tanpa ilmu yang dikuasasinya bukanlah guru lagi. Oleh karena itu kewajiban seorang guru adalah selalu menekuni dan menambah ilmu pengetahuannya. Yang dimaksud dengan menguasai bidang yang ditekuni adalah seorang guru yang ahli dalam mata pelajaran tertentu. Tidak menutup kemungkinan seorang guru mampu mengajar muridnya sampai dua mata pelajaran, yang penting dia professional dan menguasai keilmuannya.[14]
Dalam proses pendidikan, terdapat beberapa strata pendidik perspektif pendidikan Islam, di iantaranya yaitu:
a.       Allah SWT
Dari berbagai ayat Al-Qur’an yang membicarakan tentang kedudukan Allah sebagai pendidik dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Allah memiliki pengetahuan yang amat luas. Ia juga sebagai pencipta.[15]
Diantara firmanNya:
“Dan (Allah) allama ('mengajarkan) segala macam nama kepada Adam..” (Q.S. Al-Baqarah).
Dilihat dari segi historis tentang eksistensi manusia dengan Tuhan, dapat diambil kesimpulan bahwa terminologi pendidik keduanya sangatlah berbeda. Allah sebagai pendidik yang mengetahui segala kebutuhan orang yang dididik-Nya sebab Dia adalah Zat Pencipta. Perhatian Allah tidak terbatas hanya terhadap sekelompok manusia saja, tetapi memperhatikan dan mendidik seluruh alam.[16]
b.      Nabi Muhammad SAW
Nabi sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai “mualim” (pendidik). Bahwa Rasulullah SAW yang dalam hal ini bertindak sebagai penerima Al-Qur’an, bertugas untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur’an tersebut, dilanjutkan dengan mensucikan dan mengajarkan manusia.[17]
Diantara firmanNya:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”(Q.S. Jumu’ah:02)

c.       Orang Tua
Pendidik dalam lingkungan keluarga, adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena secara alami anak-anak pada awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Objek utama dari pendidik di sini adalah anak-anak dari sebuah keluarga itu sendiri.
Dalam konsep lingkungan pendidikan Islam, terdapat 3 aspek yang berperan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Bantuan atau bimbingan itu dilakukan dalam pergaulan antara pendidik dan anak didik dalam situasi pendidikan yang terdapat dalam ling­kungan rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.[18]
Jadi, dari ketiga aspek tersebut mempunyai peranan yang penting sebagai penanggung jawab pendidikan.
Diantara firmanNya:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".  (Al-Luqman:13).
d.      Guru
Pendidik di lembaga pendidikan persekolahan disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kiyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, guru merupakan sebagai “naibul walidaini”.
Dalam arti, guru sebagai fasilitator pendidikan dalam proses mentransformasikan sebuah keilmuan, kecakapan kepada peserta didiknya yang telah diamanatkan orang tua kepadanya. Melalui proses pendidikan dan pengajaran, ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut menjadi landasan seorang guru untuk mendidik dan mengarahkannya pada kecakapan-kecakapan yang diperlukan.
Telah disebutkan di pengertian atas bahwasannya dari segi etimologi banyak kita jumpai istilah yang berdekatan dengan esensi arti dari pendidik tersebut Seperti “Murobbi”, “Mu’allim”, “Mua’addib”, ”mudarris”, “ustadz”, dan “mursyid”. Kata atau istilah “murabbi" misalnya, sering dijumpai dalam kalimat yang orientasinya lebih mengarah pada pemeliharaan, baik yang bersifat jasmani atau rohani. Pemeliharaan seperti ini terlihat dalam proses orang tua membesarkan anaknya.[19]
Sedangkan untuk istilah "mu'allim", pada umumnya dipakai dalam membicarakan aktivitas yang lebih terfokus pada pemberian atau pemindahan ilmu pengetahuan dari seorang yang tahu kepada seorang yang tidak tahu. Adapun istilah "muaddib, menurut al-Attas. lebih luas dari istilah 'mu allim” dan lebih relevan dengan konsep pendidikan Islam.[20] Sedangakan ”mudarris”, “ustadz”,berarti guru. Istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah atau di lokal.[21]

     E. Paradigma Tentang Guru Dalam Perspektif Islam Beserta Implikasinya Pada Proses Pendidikan Islam
1.      Kedudukan Guru dalam Islam
               Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul.[22] Karena guru selalu terkait dengan ilmu (penge­tahuan) sedangkan Islam amat menghargai pengetahuan. Tidak hanya itu saja, seorang guru juga harus mempunyai sifat-sifat yang menitik beratkan pada implementasi kebaikan. Sehingga, seorang guru sangat dipandang mempunyai strata di bawah kedudukan nabi dan rasul.
Hal ini dijelaskan Allah dan Rasulnya:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Mujadilah:11).
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْأَنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya”.
Firman Allah dan sabda Rasul tersebut menggambarkan tingginya kedudukan orang yang mempunyai ilmu Pengetahuan (pendidik).[23] Hal ini beralasan bahwa dengan pengetahuan dapat mengantarkan manusia untuk selalu berpikir dan menganalisa hakikat semua fenomena yang ada pada alam. sehingga mampu membawa manusia semakin dekat dengan Allah.
2.      Tugas Guru Dalam Proses Pendidikan Islam
               Pada dasarnya, Islam adalah agama amal atau kerja (praksis). Inti ajaranNya adalah bahwa hamba mendekati dan memperoleh ridha Allah melalui kerja atau amal saleh dan dengan memurnikan sikap penyembahan hanya kepadaNya.[24] Hal ini mengandung makna bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan. Salah satu implementasinya adalah melaksanakan tugas kodrat yang diemban oleh seorang guru.
Dalam hal ini S. Nasution menjadikan tugas guru menjadi tiga bagian berikut:
a)      Sebagai orang yang mengkomunikasikan pengetahuan. Dengan tugasnya ini maka guru harus memiliki pengetahaun yang mendalam tentang bahan yang akan diajarkan. Sebagai tindak lanjutnya dari tugas ini maka seorang guru tidak boleh berhenti belajar, kerena pengetahuan yang akan dibe­rikan kepada anak didiknya terlebih dahulu harus dia pelajari.
b)      Guru sebagai model yaitu dalam bidang studi yang diajarkan­nya merupakan sesuatu yang berguna dan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga guru menjadi model atau contoh nyata dari yang dikehendaki oleh mata pelajaran tersebut,
c)      Guru yang menjadi model sebagai pribadi, ia berdisiplin, cermat berfikir, mencintai pelajarannya, atau yang menghidupkan idealisme dan luas dalam pandangannya.[25]
F. Masalah Profesionalisme Guru
Kuaitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD kita saat ini, hanya 3,8%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan, belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar tidak maksimal.[26]
         Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini.[27] Diperlukan orang-orang yang memang benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesional tidak hanya karena tuntutan dari perkembangan zaman, tapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam rangka perbaikan kualitas hidup  manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang di anggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas.[28]
  G. KESIMPULAN
         Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan antara lain, yaitu:
1.      Salah satu tokoh pendidikan Islam mengartikan guru secara umum memiliki tanggungjawab mendidik. Secara khusus, guru adalah orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan murid dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi murid, baik potensi afektif, kognitif, dan psikomotorik.

2.      Selain itu juga, banyak tokoh pendidikan yang mendefinisikan guru profesional. Seperti halnya Moh. Uzer Usman mengartikan guru profesional adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan. Sehingga ia mampu melakukan tugas dan tujuannya sebagai guru dengan maksimal.


3.      Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian guru profesional adalah seseorang yang mempunyai keahlian atau kemampuan khusus membimbing membina peserta didik, baik dari segi intelektual, spiritual, maupun emosional.

4.      Dan profesional dalam Islam khususnya dibidang pendidikan, seseorang harus benar-benar mempunyai kualitas keilmuan kependidikan dan kenginan yang memadai guna menunjang tugas jabatan profesinya, serta tidak semua orang bisa melakukan tugas dengan baik. Apabila tugas tersebut dilimpahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tidak akan berhasil bahkan akan mengalami kegagalan atau kehancuran.
5.      Guru profesional juga mempunyai kompetensi yang harus dimiliki. Moh. Uzer Usman menyebutkan sedikitnya ada dua kompetensi yang harus dimiliki oleh guru. Yaitu, kompetensi kepribadian dan profesionalisme. Dalam kompetensi pribadi, yang di dalamnya memuat berbagai kemampuan yang harus dimiliki, seperti berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi sekolah, dan melakukan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.

6.      Selain kompetensi pribadi, seorang guru profesional juga dituntut mengusai kompetensi kewajibannya sebagai guru. Yakni, kompetensi profesional. Hal ini mensyaratkan seorang guru profesional harus mengetahui dan melaksanakan dua point. Yaitu, landasan pendidikan, dan menyusun program pengajaran

7.      Dalam peningkatan kemampuan profesional guru minimal mempunyai dua prinsip yaitu prinsip bantuan, dan prinsip bimbingan. Peningkatan kemampuan profesional guru itu merupakan upaya membantu guru yang belum profesinal menjadi profesional. Jadi peningkatan kemampuan profesional guru pada dasarnya datang dari diri seorang guru. Meskipun terdapat berbagai bimbingan yang dilakukan oleh pihak lain.

8.      Peningkatan kemampuan profesional guru tidak bisa dilakukan setengah-setengah. Seperti hanya membimbing dalam kemampuan pegawai saja itu kurang. Jadi tujuan pembinaan kemampuan profesional guru adalah tumbuh dan berkembangnya kemampuan jiwa profesional pada diri guru.

9.      Profesionalisme pada dasarnya berpijak pada dua kriteria pokok, yakni, merupakan panggilan hidup dan keahlian. Panggilan hidup atau dedikasi dan keahlian menurut Islam harus dilakukan karena Allah Swt. Hal ini akan mengukur sejauh nilai keikhlasan dalam perbuatan.

10.  Dalam Islam pun, apapun setiap pekerjaan (termasuk seorang guru), harus dilakukan secara profesional. Maka, dua hal inilah yakni, dedikasi dan keahlian yang mewarnai tanggung jawab untuk terbentuknya profesionalisme guru dalam perspektif pendidikan Islam. Selain itu, ada ungkapan yang tersirat saat Islam mendefinisikan terminologi “profesionalisme”. Ada aspek yang melibatkan kata profesionalime, yakni melimpahkan suatu urusan atau pekerjaan pada ahlinya.

11.  Menurut Sulani (1981: 64), Agar tujuan pendidikan tercapai, seorang guru harus memiliki syarat-syarat pokok. Syarat pokok yang dimaksud adalah Syarat Syahsiyah, Syarat lmiah, dan Syarat Idofiyah.

12.  Dari hasil analisis terhadap sejumlah literature, secara umum profesionalisme guru sebagai pendidik Islam adalah bertaqwa, berilmu pengetahuan luas, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan yang Rabbani, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan, dan menguasai bidang yang ditekuni.














  H. Daftar Pustaka
Bafadal, Ibrahim. Peningkatan Profesional Guru Sekolah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2003
Daryanto. Guru Profesional, Yogyakarta : Gava Media, 2013
Drajat, Zakiah. Peran Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 1996
Nasir, Nanat Fattah. Pemberdayaan Kualitas Guru dalam Perspektif Islam Bandung: UPI, 2007
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.
Uzer, Moh Usman. Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002
Basuki, M.  Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Ponorogo: Stain Press, 2007
Tohirin. Psikologi Pembelajaran Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakar: taPustaka Pelajar, 2003



[1]Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka) hlm. 263
[2]Ibid., hlm. 897
[3]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992) hlm. 74
[4]Syaiful Sagala,  Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung: Alfabeta, 2011) hlm. 1
[5]Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002) hlm. 15
[6]Zakiah Drajat, Peran Agama dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1996) hlm. 39
[7]Moh. Uzer Usman, Op., Cit., hlm. 16-20
[8]Syaiful Sagala,  Op., Cit., hlm. 29
[9]Ibrahim Bafadal, Peningkatan Profesional Guru Sekolah Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) hlm. 44
[10]Ibid., hlm. 45-46
[11] Ahmad Tafsir, Op., Cit., hal. 113

[12]Ibid., hlm. 113-114
[13] Nanat Fattah Nasir, Pemberdayaan Kualitas Guru dalam Perspektif Islam, (Bandung: UPI, 2007) hlm. 27
[15] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam,  (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) hlm. 56
[16] Ibid., hlm. 59
[17] M. Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Ponorogo: Stain Press, 2007) hlm. 83
[18] Ramayulis, Op. Cit., hlm. 60
[19] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008) hlm. 34
[20] Ramayulis, Loc. Cit., hlm. 60
[21] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 175
[22] Ramayulis, Op. Cit., hlm. 62
[23] Ibid.
[24] M. Basuki, Op. Cit., hlm. 84
[25] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 76
[26]Daryanto, Guru Profesional, (Yogyakarta : Gava Media, 2013) hlm. 2
[27] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) hlm. 223
[28] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar