(SEBUAH PEMIKIRAN MENURUT IBNU KHALDUN)
Oleh:
Muhammad Nambeen Lubis dan Mhd. Ali Jafar Lubis
ABSTRASI
Setidaknya ada tiga hal yang penting dicatat jika kita mengangkat pemikiran Ibnu Khaldun, pertama tokoh ini jarang mendapatkan tempat di tengah-tengah para ulama konvensional, kedua para pemikir Islam semakin mendapat tempat di kalangan para sarjana modern di mana mereka telah berkenalan dengan studi Islam yang mencoba mendekatinya melalui pisau analisis ilmu-ilmu social,ketiga masih banyak pemikiran Ibnu Khaldun yang belum tersentuh oleh para peminat studi Islam, sebab Ibnu Khaldun memang selalu memberikan inspirasi bagi generasi selanjutnya dalam mendalami studi Islam.
Oleh karena itu sangat wajar jika Ibnu Khaldun sering disosialisasikan ketiak membahas pemikiran sejarah dan sosiologi Islam pada era klasik. Karya Ibnu Khaldun merupakan referensi utama yang amat kaya dan memuat berbagai ulasan sejarah, social dan kebudayaan masyarakat.
Dengan demikian untuk membuka cakrawali pemikiran kita Ibnu Khaldun bukan saja tokoh sejarawan tapi ia sangat intens dan komperhenshif dalam memilki ilmu pengetahuan, sehingga ia mendapat guru besar dalam kontek kekinian ia disebut sebagai Profesor. Dengan keluesan ilmu pengetahuannya inilah kita membuka tabir untuk mendiskripsikan sedikit tentang paradigmanya terhadap pengembangan Sumber Daya Insani. Ternyata cukup mengagungkan bahwa Sumber Daya Insani yang berkualitas itu diidentifikasikan dengan Insan saleh.
Kata-Kata Kunci
Ibnu Khaldun, Sumber Daya Insani, Fithrah, Sosiolog, Pendidikan dan Pengajaran, Waliullah, Aqliyah, Naqliyah, Insan Saleh dan Masyarakat Saleh
A. Pendahuluan
Pemikiran dan teori-teori politiknya Ibnu Khaldun yang sangat maju dan modern telah mempengaruhi karya-karya para pemikir politik terkemuka sesudahnya, seperti Machiavelli dan Vico. Ia mampu menmbus ke dalam fenomena sosial sebagai filosuf dan ahli ekonomi yang dalam ilmunya dan Ibnu Khaldun sangat popular dengan ahli sosilog, disiplin ilmu ini diawali dengan analisis karyanya yang spektakuler Mukaddimah Ibnu Khaldun[1][1].
Kecermelangan pemikiran Ibnu Khaldun membuahkan hasil yang pantastis di dalam komunitas masyarakat di zamannya, hal ini dapat di buktikan dengan mampunya Ibnu Khaldun mengubah pemikiran masyarakat Mesir yang corrup menjadi humanis dan memiliki kecerdasan social yang tinggi, usaha ini ia lakukan dengan masuknya Ibnu Khaldun ke dunia birokrat dengan diamanahkan kepadanya menjadi hakim (qadhi) di Cairo, dari ranah inilah beliau mengendalikan moral masyarakat dengan menjadikan dirinya menjadi teladan seorang yang adil dalam penegakan hokum, cerdas, dan tidak tebang pilih.
Jejak seorang Ibnu Khaldun selain ahli di bidang fiqh, Ibnu Khaldun juga seorang ahli pendidik yang mempunyai kompetensi unggul, teori dan temuan-temuannya dalam bidang pendidikan sangat berguna bagi generasi sesudahnya, temuan Ibnu Khaldun yang paling popular dalam bidang pendidikan adalah pandangan beliau tentang Sumber Daya Insani. Dalam soroton Ibnu Khaldun manusia adalah fithrah yang terlibat dalam aksi pertarungan social antara sesama manusia, alam dan dunia transcendental, manusia bukan produk warisan nenek moyang tetapi produk sejarah yang hakikinya harus berkembang dan dikembangkan sehingga dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan lingkungan social[2][2]. Dengan pemikiran Ibnu Khaldun yang cukup ensiklopedis ini maka para ahli memberikan nama lain kepada tokoh yang satu ini “seorang pemikir multi dimensional ilmu pengetahuan”.
Dari jejak Ibnu Khaldun ini sesunggunya banyak yang harus dibongkar hasil pemikirannya sehingga dapat diaktualisasikan dalam aspek kehidupan, salah satu pemikiran Ibnu Khaldun itu yang sangat penting untuk dibongkar adalah bagaimana pandangan Ibnu Khaldun terhadap Sumber Daya Insani (SDI). Dengan terkuaknya rahasia Sumber Daya Insani (SDI) akan semakin mudah memberikan tuntunan kepada anak dan menjadi acuan bagi pendidik untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan dalam mewujudkan manusia berkualitas, unggul dan berkrakter sehingga jadilah manusia yang mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini.
Dengan pendekatan analisis konten yang sistematis dan filosofik diharapkan akan terungkap pandangan Ibnu Khaldun terhadap Sumber Daya Insani (SDI). Tentunya keterbatas tulisan ini akan menjadi acuan bagi peniliti berikutnya sehingga terungkap dan jelas bagaimana nukilan emas Ibnu Khaldun ketika dia menceburkan dirinya ke ranah ilmu pengetahuan. Inilah urgensitas tulisan ini hadir di hadapan pembaca agar sosok Ibnu Khaldun dapat dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak.
B. Mengenal Sekilas Biografi Ibn Khaldun
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibn Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332.[3][3] Abdurahman nama panggilan waktu kecilnya, nama panggilan keluarganya adalah abu Zaid yang diambil dari nama puteranya yang sulung yaitu Zaid. Menurut Warul Walidin dalam bukunya Konstlasi Pemikiran Paedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Ibnu Khaldun mempunyai gelar/laqob yang sering dipanggil orang adalah dengan gelar Waliuddin, gelar ini dia peroleh ketikan dia memangku jabatan hakim di Mesir. Selain dari gelar itu tokoh yang satu mendapat gelar Syekh atau guru besar dalam konteks kekinian setara dengan Profesor[4][4].
Khaldun berasal dari keluarga intelektual, yang sedikit tertarik dengan persoalan politik. Ia biasa berjumpa dengan tokoh intelektual dari Afrika Utara dan Spanyol yang sebagian besar adalah pengungsi dari kekhalifahan timur. Pendidikannya dilalui di Tunisia dan Fez (Maroko) dengan mempelajari berbagai ilmu: menghafal Alqur’an, mempelajari tata bahasa, hukum Islam, hadis, retorika, fiologi dan puisi. Selain itu, ia mempelajari sastra Arab, filsafat, matematika dan astronomi.
Kariernya di bidang politik membawanya keluar masuk istana, baik berbagai pemenang maupun pecundang. Usia mudanya dihabiskan sebagai pendamping, penasihat sultan serta menduduki aneka jabatan. Pada umur 19 tahun, ia mulai mengabdi pada Ibn Tafrakin, penguasa Tunis. Selanjutnya pada tahun 1362 Ibn Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu.[5][5]
Dan pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandariah. Tetapi dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Raja dan rakyat mesir yang cukup mengenal reputasi Khaldunlah yang menyebabkan ia tidak melanjutkan perjalanan hajinya. Di Daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua mahkamah agung dibawah pemerintahan dinasti Mamluk.
Dengan jabatannya yang terakhir, ia bukan saja mengalami masalah yang sama seperti yang dihadapi di Granada dan Aljazair, tetapi juga telah menyebabkan ia kehilangan keluarga dan harta bendanya. Musibah semacam ini, di samping membuat ia semakin ta’at, juga telah membangkitkan kembali niat untuk menunaikan iabadah hajinya. Niat itu baru terlaksana tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1387. namun, untuk hidup tenang di Kairo setelah pulang haji tidak tercapai. Sebab, kemampuannya yang luas itu telah mengundang Sultan Mamluk untuk memanfaatkannya. Bersama-sama dengan hakim dan ahli-ahli hukum lainnya ia dibawa Sultan ke Damaskus, kota yang terancam gempuran tentara Timur Lenk.
Damaskus tidak dapat dipertahankan dan Sultan bersama dengan tentaranya mundur ke Mesir. Namun, Khaldun dan beberapa orang terkemuka lainnya tetap tidak pulang. Ia diserahi tugas berunding mengenai penyerahan kota itu ke tangan Timur Lenk. Di tangan Timur Lenk, Damaskus dihancurkan. Tetapi Khaldun berhasil menyelamatkan bukan hanya dirinya, melainkan juga beberapa orang terkemuka, anggota tim terunding ke Mesir. Pada suatu riwayat sebagaimana yang dituliskan dalam Ensiklopedi Islam, perjalanan hidup Ibnu Khaldun penuh dengan kecemerlangan Ia pernah berjumpa dengan penakluk Mongol (Timur Lank) pada tahun 1401 M diluar perbatasan Damaskus. Penakluk Mongol tersebut menyambut dan menawarkan ilmuan ini sebagai pejabat pemerintahan.[6][6] Akan tetapi tidak tahu alasan jelas Ibnu Khaldun memilih kembali ke Kairo dan melanjutkan pekerjaannya sebagai Waliullah (Qadhi), akhirnya di sinilah Ia menghabiskan sisa umurnya sampai dipanggil oleh Allah kehadirat-Nya, pada tahun 1406 dalam usia 74 tahun, bersama jabatan yang dipegangnya.[7][7] Dengan demikian tokoh yang memiliki multi dimensional ilmu pengetahuan ini, tetap seorang besar di Mesir. Sebab, tidak lama kemudian ia kembali pada jabatannya semula sebagai ketua Mahkamah Agung. Dari latar belakang kehidupan Ibnu Khaldun secara sederhana dia menghabiskan waktu nya di bagi kepada beberapa fase, mulai dari fase pendidikan, explorasi, artikulatif, politik, dan fase birokratif.
C. Konsep Pendidikan dan Pengajaran Ibn Khaldun
1. Pandangan Tentang Manusia Didik
Konsep manusia menurut Ibn Khaldun adalah. Ia mempunyai asumsi-asumsi kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang Ia peroleh dalam ajaran Islam konsepsi-konsepsi kemanusiaannya adalah hasil dari identivikasi upaya intelektual Khaldun untuk membuktikan dan memahami asumsi Alqur’an tersebut lewat gejala dan aktivitas kemanusiaan.
Menurut Ibnu Khaldun berpendapat bahwa manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat yang antara satu dan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam mengahasilkan sesuatu yang tidak dapat di capai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain yang telah lebih dahulu mengetahuinya. Mereka itulah yang kemudian disebut guru. Agar proses pencapaian ilmu yang demikian itu, maka perlu diselenggarakan kegiatan pendidikan.
Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhakan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidangilmu atau disiplin ilmu memerlukan pengajaran. Pemikiran lain yang dilontarkan Ibnu Khaldun termasuk bahwa manusia secara ensensial adalah bodoh. Manusia itu cerdas dan berilmu disebabkan hasil pencarian manusia itu terhadap ilmu pengetahuan, inilah yang membedakan manusia dengan binatang atau hewan lainnya. Sebelum tahapan ini manusia identik dengan hewan, mulai dari proses awal sampai manusia itu lahir ke dunia ini, manusia tidak membawa sesuatu ketika dilahir atau tidak tahu sama sekali apa-apa, manusia tidak berdaya oleh karena itu manusia sangat membutuhkan orang lain tapi dengan proses pencerapan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh manusia bisa mencapai kesempurnaan kuat perkasa dan mampu menaklukkan dunia, justeru itu kesempunaan manusia itu tergantung kepada moral dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.[8][8]
Ibnu Khaldun juga berpandangan bahwa manusia adalah sebagai khalifah di muka bumi ini, Allah membekali manusia dengan akal pikiran sebagai daya positif untuk melakukan perbuatan yang baik, sehingga manusia ini mampu mengatur dan mengolah sumber daya alam untuk kepentingan dan kelangsungan hidup manusia agar manusia dapat bahagia dan sejahtera. Sifat fithrah berpikir manusia yang diberikan oleh Allah selanjutnya mampu menemukan sains dan teknologi, kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupan manusia sukses sebagai khalifah tetapi membuat kehidupan manusia dapat bermakna yang pada akhirnya proses yang semacam ini akan melahirkan peradaban baru dan modern di tengah-tengah kehidupan manusia.. Sifat-sifat seperti inilah yang tidak dimilliki oleh makhluk lain.[9][9]
2. Pandangan Tentang Ilmu
Ibnu Khaldun mengatakanbahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Hal ini berbeda dengan apa yang di duga oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa perbedaan ini bersumber pada perbedaan hakikat kemanusiaan.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Alqur’an adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Alqur’an kepada anak termasuk syari’at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam. Alqur’an yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa anak-anak masih mudah, karena otak si anak masih jernih. Ilmu yang diajarkan kepada anak menurut Ibnu Khaldun harus ditanamkan kepada dua hal penting, pertama ilmu yang bersifat naqliayah (tekstual) dan kedua ilmu yang bersifat aqliyah (rasional).[10][10]
Sejalan dengan Ibn Khaldun untuk mempertegas pandangan Kholdun tentang ilmu, maka membagi ilmu itu menjadi tiga bagian kelompok yaitu:
a. Kelompok ilmu lisan (bahasa); ilmu tentang tata bahasa, sastra dan bahasa yang tersusun secara puitis (syair).
b. Kelompok ilmu naqli; ilmu yang diambil dari kitab suci dan Sunnah Nabi.
c. Kelompok ilmu aqli; ilmu-ilmu yang diperoleh manusia melalui kemampuan berfikir. Proses perolehan tersebut dilakukan melalui panca indera dan akal.[11][11]
Dengan demikian ilmu tidak lain adalah merupakan gejala social yang menjadi cirri khas jenis insani. Di dalam kita Mukaddimahnya Kholdun tidak memberikan defenisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran secara umum, seperti halnya yang dikatakan Ibnu Khaldun:
Barang siapa tidak terdidik orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barang siapa yang tidak memperoleh tatakrama yang sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia kan mempelajarinya dengan bantuan alam dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarinya. Artinya pengaruh lingkungan dominan akan membangung karakter anak dan kebiasaan karakter itulah akan menjadi satu kesatuan dari hidupnya.[12][12]
Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pandangan Ibnu Khaldun terhadap ilmu pengetahuan suatu hal yang fithrah dimililki oleh manusia, tanpa ilmu pengetahuan manusia akan salah arah, ilmu pengetahuan ibarat kompas dalam kehidupan yang menuntun manusia ke arah timur atau kea rah barat. Oleh karena orangtua dan guru harus bekerja keras untuk memberikan ilmu kepada anak agar generasi berikut dapat mempertahan hidupnya.
3. Tujuan pendidikan dan Pengajaran
Menurut Ibn Khaldun, tujuan pendidikan dan pengajaran beraneka ragam dan bersifat universal. Di antara tujuan pendidikan dan pengajarab tersebut adalah:
a. Tujuan meningkatkan pemikiran peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berpikir, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b. Tujuan peningkatan kemasyarakatan bertujuan meningkatkan segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong teciptanya tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
c. Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah denganmeningkatkan kerohanian manusia dengan praktek ibadah, zikir, khalwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk bertujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.
Sejalan dengan itu secara operasional Ibnu Khaldun menyatakan bahwa ada tiga tingkatan tujuan pendidikan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan dan pengajaran, yaitu sebagai berikut:
a. Pengembangan kemahiran (Al-malalah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah atau skill tidak bisa dimiliki oleh setiap orang kecuali setelah dia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin ilmu tertentu.
b. Penguasaan ketrampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi dalam profesi.
c. Pembinaan pemikiran yang baik, kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dengan binatang, oleh karena itu pendidikan hendaknya dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik.[13][13]
Maka atas dasar tujuan di atas Ibnu Khaldun berpradima bahwa pendidikan dan pengajaran adalah memberikan kesempatan kepada pikiran anak untuk aktif dan bekerja, karena di memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya piliran dan kematangan individu
E. Sumber Daya Insani: Versi Ibnu Khaldun
Menurut Ibnu Khaldun sumber daya insani itu memiliki lima unsur penting yang bisa membuat power atau kekuatan bagi manusia, lima unsur dimaksud terdiri dari akal kreatif, keterampilan, kerjasama, kewibawaan dan kedaulatan. Kelima unsur tersebut harus dimiliki seseorang apabila ingin mempertahankan eksistensinya ditengah-tengah komunitas masyarakat dunia yang terus maju dan berkembang. Dalam Alqur’an tidak ada kata yang tepat untuk istilah Sumber Daya Insani kecuali hanya “Ibaad Shaalihun” manusia yang memiliki sumber daya. Beberapa ayat Alqur’an antara lain menyebutkan: “Bahwasanaya bumi ini diwarisi oleh hamba-hambaku yang saleh (memiliki sumber daya insani)”. (QS. 21: 105). “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang berimana diantara kamu dan yang mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa”. (QS. 24: 55). Keteladanan dan moral yang tinggi yang dimiliki manusia pada prinsipnya merupakan pencerminan dari kualitas sumber daya insani yang baik. Sebaliknya jika manusia memilili prilaku buruk dan tidak terpuji maka prilaku itu menggambarkan bahwa kualitas sumber daya insan rendah.[14][14]
Pegembangan atau peningkatan Sumber Daya Insani berarti sama halnya memberikan pendidikan kepada manusia agar memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, semakin tinggi ilmu pengetahuan seseorang akan semakin tinggi Sumber Daya Insani-nya, selanjutnya manusia akan menciptakan peradaban baru yang mempunyai karakter unggul dalam kehidupan sehari-hari. Ibn Khaldun mengatakan mengenai peradaban (hadarah) melihat unsur-unsur pokok peradaban itu sebenarnya ada tiga yaitu manusia, tanah atau tempat dan waktu. Sama halnya dengan unsur kimia yang membentuk air, yaitu H2O. tetapi H2O di suatu tempat dan waktu yang bersamaan tidak sekaligus menciptakan zat cair. Harus ada semacam pemakin yang membawa kepada persenyawaan H2O itu untuk menjadi air. Begitu juga dengan manusia, tempat dan waktu tidak sekaligus mencipta peradaban. Ada kaum-kaum yang tidak pernah mencipta peradaban dalam sejarah kemudian hilang begitu saja tidak di kenal asal usulnya.
Setelah Islam bangkit, keadaan berubah sama sekali, kaum-kaum yang tadinya berperang, sekarang bersatu padu dan tolong-menolong sehingga mereka dapat menciptakan suatu peradaban universal yang tersebar ke seluruh pelosok dunia. Jadi fungsi agama di sini adalah sebagai katalis terhadap tiga unsur peradaban tadi.
Dari tiga unsur peradaban yang kita sebutkan di atas yaitu manusia, waktu dan tempat, maka manusialah menjadi unsur pokok yang sekaligus menjadi subyek dan obyek bagi kesinambungan hidup diatas planet kita ini semenjak Adam dan Hawa bertempat di atasnya sampai kepada kita sekarang sebagai penerima wahyu terakhir dari Adam as. Sampai Muhammad Saw yang telah dipikul oleh tidak kurang dari 134.000 Rasul dan Nabi. Oleh sebab itu baiklah kita renungkan ayat-ayat Alqur’an berkenaan dengan pengutusan Nabi dan Rasul semenjak Adam as. Sampai Muhammad Saw.
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia sebab kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungakr dan beriman kepada Allah”. (QS. 3:10). Tujuan yang ingin di capai oleh pendidikan Islam dapat meringkaskan dalam dua tujuan pokok: masyarakat yang salehdan beriman kepada Allah dan agama-Nya dan pembentukan masyarakat yang saleh yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannya.
a. Pembentukan Insan Saleh
Insan saleh adalah manusia yang mendekati kesempurnaan dengan kata lain pengembangan manusia yang menyembah dan bertakwa kepada Allah. “ Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku”. (QS. 51: 56), manusia yang penuh keimanan dan takwa, berhubungan dengan Allah memelihara dan menghadap kepada-Nya dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segala tingkah laku yang dilakukannya, segala pikiran yang yang tergores dihatinya dan segala perasaan yang berdetak dijantungnya. Ini adalah manusia yang mengikuti jejak langkah Rasul Saw dalam pikiran dan perbuatannya.
Insan saleh beriman dengan mendalam bahwa ia adalah khalifah di bumi. “ Aku ciptakan di bumi khalifah”. (QS. 2: 30). Ia mempunyai risalah ketuhanan yang harus dilaksanakannya, oleh sebab itu ia selalu menuju kesempurnaan walaupun kesempurnaan itu hanya untuk Allah saja. Salah satu aspek kesempurnaan itu adalah akhlak yang mulia, sebab Rasul Saw bersabda: “ Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Di antara akhlak insan yang saleh dalam Islam adalah harga diri, prikemanusiaan, kesucian, kasih sayang, kecintaan, kekuatan jasmani dan rohani, menguasai diri, dinamisme dan tanggungjawab. Ia memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.
b. Pembentukan Masyarakat Saleh
Masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah untuk umat manusia, yaitu riasalh keadilan, kebenaran dan kebaikan, suatu risalah yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor waktu dan tempat. Firman Allah “ Kamu adalah ummah terbaik yang pernah di utus bagi umat manusia, sebab kamu mengajar kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan”.(QS. 3:10). Masyarakat Islam berusaha sekuat tenaga memikul tanggungjawab yang dibebankan kepadanya kapan-kapan dan dimana aja. Tugas pendidikan Islam adalah menolong masyarakat mencapai maksud tersebut. Selanjutnya tugas pendidikan Islam, antara lain:
- Menolong masyarakat membangun hubungan-hubungan sosial yang serasi, setia kawan, kerja sama, interpenden dan seimbang.
- Mengukuhkan hubungan dikalangan kaum Muslimin and menguatakan kesetia kawannya melalui penyatuan pemikiran, sikap dan nilai-nilai.
- Menolong masyarakat Islam mengembangkan diri dari segi perekonomian yang bermakna: berusaha memperbaiki suasana kehidupannya dari segi material dengan memerangi kejahilan, kemiskinan dan berbagai macam penyakit.
- Memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat Islam, maksudnya penyesuaian dengan tuntutan kehidupan modern dengan memelihara identitas Islam. Sebab, Islam adalah agama yang sesuai untuk segala tempat dan waktu.
- Mengukuhkan identitas budaya Islam, ini dapat dicapai dengan pembentukan kelompok-kelompok terpelajar, pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan yang:
a. Bersemangat Islam, sadar dan melaksanakan ajaran agamanya, sangat prihatin dengan peninggalan peradaban Islam, disamping bangga dan bersedia membelanya bermati-amtian, sehingga karya-karyanya mempunyai corak Islam sejati.
b. Menguasai sains dan teknologi modern dan bersifat terbuka terhadap peradaban dan budaya lain.
c. Bersifat produktif: mengarang, membuat karya inovatif, dapat menyelaraskan potensi-potensi yang ada, dan membimbing orang-orang lain.
d. Bebas dari ketergantungan kepada orang atau budaya lain, begitu juga dari sifat taklid buta.[15][15]
Dalam versi Ibnu Kholdun Sumber Daya Insani menurut Islam tidak diartikan sebagai suber daya, tidak diartikan sebagai sumber daya yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi, dapat membawa kepada keunggulan politik, dapat menguasai dan mengelola sumberdaya alam yang dapat membawa kepada kemampuan ekonomi atau dapat mengatur dan menguasai kehidupan masyarakat seluruh dunia, akan tetapi mempunyai pengertian yang jauh lebih luhur yaitu “insan dan segala keutuhannya”.
Sumber Daya Insani juga tidak dipandang sebagai faktor produksi yang setara dengan Sumber Daya Insani adalah makhluk Allah yang utama dan sempurna dalam segala halnya. Manusia mempunyai daya (potensi) yang bersumber dari jasmani, akal, hati dan nafsu. Manusia juga mempunyai daya yang bersumber dari luar yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kualitas daya yang ada pada dirinya, yaitu hidayah Allah dan alam lingkungan.
Dengan demikian, Sumber Daya Insani menurut Islam dengan tegas Ibnu Khaldun mengatkan adalah segenap daya yang ada dalam diri manusia yaitu jasmani, akal, hati dan nafsu yang kualitasnya dapat diukur dengan kekuatan fisik, daya nalar, keteguhan iman, keterampilan dan keshalehan amaliah, nafsu madhiyah dan keutamaan moral (akhlak karimah) itulah ibaad shaalihuun.[16][16]
Manusia di ciptakan oleh Allah Swt dalam rangka khalifah di muka bumi, halini banyak di cantumkan dalam Alqur’an dengan maksud agar manusia dengan kekuatan yang demikiannya mampu membangun dan memakmurkan bumi serta melestarikankannya. Untuk mencapai derajat khalifah di muka bumi ini di perlukan proses yang panjang, dalam Islam upaya tersebut di tandai dengan pendidikan yang di muali sejak buaian sampai keliang lahat.
Pendidikan Islam memadukan dua segi kepentingan manusia yaitu keduniaan dan keagamaan. Menurut Hadawi Nawawi (1994) Sumber Daya Insani adalah daya yang bersumber dari manusia yang berbentuk tenaga atau kekuatan (energi atau power). Investasi Sumber Daya Insani sebagai anggota masyarakat yang di perlukan adalah karakteristik sebagai berikut: manusia berwatak, cakap dan inteligensi, entrepreneur (wiraswasta), dan kompetitif.
F. Penutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan an bahwa Nama lengkapnya Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Ibn Khaldun. Lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332. Ia meninggal pada tahun 1406 dalam usia 74 tahun, bersama jabatan yang dipegangnya. Konsep pemikiran yang di kemukakannya nampak sangat di pengaruhi oleh pandangannya terhadap manusia sebagai makhluk yang harus di didik, dalam rangka melaksanakan fungsi sosialnya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan adalah alat untuk membantu seseorang agar dapat hidup bermasyarakat dengan baik. Pemikiran Ibn Khaldun tentang Pendidikan Islam.
Sumber Daya Insani adalah sebuah potensi yang dimiliki oleh manusia yang diawali dengan pemberian bekal ilmu pengetahuan terhadap manusia itu, yang akhir dengan Sumber Daya Insani yang dimilikinya manusia dapat mencapai insan saleh. Insan saleh adalah tujuan akhir dari cita-cita Sumber Daya Insani. Untuk menciptakan insan saleh memerlukan persiapan proses panjang mulai dari persiapan pendidikan di rumah tangga di masyarakat dan pada sekolah formal harus satu arah dalam meningkatkan Sumber Daya Insani, dengan tujuan agar terwujud insan saleh dan masyarakar saleh.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa manusia lahir membawa kemampuan laten yang disebut dengan fithrah. Fithrah sifat dasar baik dan berakidah tauhid. Atas dasar itulah dapat dikatakan bahwa agama merupakan kebutuhan naluriyah yang dibawa lahir. Kenyataan fithrah inilah yang menjadi sasaran pengembangan Sumber Daya Insani. Jadi menurut hemat Ibnu Khaldun pengembangan fithrah sama halnya dengan pengembangan Sumber Daya Insani.
Demikan pandangan Ibnu Khaldun tentang pengembangan Sumber Daya Insani, lewat tulisan mudah-mudahan kita mendapat manfaat, setidaknya membuat komparasi kepada kaum pendidik atau calon guru, guru, dan tenaga kependidikan untuk pengembangan diri dan pengembangan Sumber Daya Insani.
DAFTAR BACAAN
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Langgulung, Hasan. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Masrasuddin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Nata, Abudin. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Pengarang Buku-buku dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, Khazanah Orang Islam, Jakarta: Penerbit Republik, 2002.
Ramayulis & Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Quantum Teaching, 2005.
Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Tim Penulis Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Jilid V Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994
Warul Walidin, Konstlasi Pemikiran Paedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, Nanggroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2003
[1][1]. Kitab ini pada mulanya merupakan pengantar dari kita-kitab al-`ibar. Namun karena begitu pentingnya, akhirnya dipisahkan dari karya induknya menjadi suatu karya yang tersendiri. Lihat, Warul Walidin, Konstlasi Pemikiran Paedagogik Ibnu Khaldun Perspektif Pendidikan Modern, (Nanggroe Aceh Darussalam: Yayasan Nadiya, 2003) hlm, 40
[2][2]. Samsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm, 93-94
[3][3]. Pengarang Buku-buku dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol, Khazanah Orang Islam, (Jakarta: Penerbit Republik, 2002), hlm. 119.
[5][5]. Ibnu Khaldun , hidup pada abad ke 14 M/ 8 H era ini merupakan penghujung zaman pertengahan dan permulaan masa Renaissance atau masa kejayaan Islam. Pada masa permulaan abad ke 8 M sampai kepada abad ke 13 M kemajuan di bidang intellectual, ekonomi, social dan teknologi telah menjadi cirri dunia Islam, bahkan pada zama ini lazim disebut dan pernah dinamakan sebagai abad Mu`jizat `Arab. Lihat Warul Walidin, Ibid, hlm 21
[6][6]. Tim Penulis Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994) hlm. 158
[7][7] Abudin Nata. Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 172-173. Lihat Juga Warul Walidin, untuk mengenang Ibnu Khaldun rumah kelahirannya yang ada di sybillia sekrang tetap menjadi perhatian, hingga beberapa tahun terakhir ini rumah tersebut dikenal sebagai “ulya” pada pintu masuknya termpampang sebuah batu marmar berukirkan nama dan tanggal lahir Ibnu Khaldun. Lihat Warul Walidin, Op-Cit., hlm 30
[9][9]. Abudin Nata, Op-Cit,hlm 174
[10][10]. Ilmu yang bersifat Naqliyah merupakan ilmu yang dinukil manusia dari yang merumuskan atau yang menetapkan landasannya dan diwariskan secara turun-temurun. Semua ilmu ini bersandarkan kepada informasi otoritas Syar`ah. Sementara ilmu yang bersifat Aqliyah (rasional), buah dari aktivitas pikiran manusia dan perenungannya. Lihat Warul Walidin, Op-Cit, hlm, 138 dan 141
[11][11]. Ramayulis & Samsul Nizar. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 20-26.
[12][12]. Masrasuddin Siregar, Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),hlm 35-36
[15][15] Hasan Langgulung. Peralihan Paradigma dalam Pendidikan Islam dan Sains Sosial, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 258-264.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar