Sabtu, 14 Desember 2013

HUKUM BACAAN MAKMUM DALAM SHALAT BERJAMA’AH


























HUKUM BACAAN MAKMUM
DALAM
 SHALAT BERJAMA’AH


A.    Pendahuluan
Rukun Islam yang kedua setelah membaca kalimat syahadat adalah mengerjakan shalat, sehingga di dalam ajaran Islam shalat merupakan pondasi yang harus dilaksanakan umat Islam, selain sebagai pembentukan karakter individu dengan media shalat sebagai upaya pendekatan terhadap Allah SWT selaku Pencipta, hal ini merupakan tahap lanjutan dalam penilaian seseorang yang memeluk agama Islam.
Shalat adalah tuntutan di dalam agama Islam yang merupakan perintah langsung dari Allah SWT melalui Rasulullah, kemudian para ulama sepakat bahwa shalat dalam lima waktu sehari semalam adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam, tetapi dalam aplikasi shalat berjama’ah khususnya bacaan makmum terdapat perbedaan dari para ulama fiqh, hal ini disebabkan karena bacaan makmum yang mengikuti imam tidak ditetapkan secara komprehensif sehingga dalam implementasinya memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Para ulama fiqh melakukan reinterpretasi terhadap bacaan makmum yang telah diajarkan oleh Rasulullah tanpa upaya untuk merubahnya, sehingga konklusi para ulama menjadi perbedaan yang cukup signifikan dengan mempertahankan substansi pendapat masing-masing sesuai dengan hasil ijtihad yang dilakukan, tetapi perbedaan yang kontroversial antara para ulama tersebut bukan lambang perpecahan dari agama Islam, tetapi sebagai gambaran demokratisasi Islam terhadap pemeluknya dalam mengeluarkan pendapat.
Korelasi antara perbedaan pendapat ulama mengenai bacaan makmum di dalam shalat berjama’ah dengan makalah ini adalah sebagai bentuk upaya pemahaman dengan penguraian pendapat-pendapat para ulama tersebut, sehingga selain dikarenakan rasa tertarik untuk pembahasan secara mendalam untuk mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah kajian berbentuk tulisan, serta penyesuaian terhadap materi yang ditawarkan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab Fiqh.



 
B.     Pembahasan
1.      Niat
Niat merupakan tujuan dalam suatu perbuatan berdasarkan rasa taat dan patuh untuk mengikuti perintah-perintah Allah, kemudian di dalam shalat niat merupakan pernyataan apakah shalat tersebut fardhu (keharusan) atau sunnah (anjuran Nabi), sehingga diartikan bahwa shalat sesuai dengan yang diniatkan. Para ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidak diminta atau tidak dianjurkan.[1]
Muhammad Jawad Mugniyah dalam bukunya Fiqih Imam Ja’far Shadiq menuliskan bahwa niat adalah motivasi melaksanakan shalat untuk taat kepada Allah, mengenai niat tersebut adalah bagian dari shalat atau syarat shalat bukan merupakan hal yang penting, karena shalat tetap wajib disebabkan niat adalah rukun di dalam shalat, dan akan menyebabkan batalnya shalat apabila tidak dilakukan secara sengaja atau karena lupa.
Selanjutnya dijelaskan karena niat adalah perbuatan hati, maka tidak wajib melafalkan niat tersebut, dan wajib untuk menentukan niat agar mencegah tidak jelasnya tujuan dari yang diniatkan, dan tidak wajib berniat untuk shalat wajib atau sunnah, dikarenakan tidak ada dalil yang merujuk mengenai kewajiban dalam hal tersebut.[2]
Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa Rasulullah di dalam shalat beliau langsung mengucapkan takbir tanpa mengucapkan apapun sebelumnya dan tidak melafalkan niat, dan tidak meniatkan shalat tertentu dengan arah tertentu kemudian menyebutkan jumlah rakaat sebagai imam atau makmum, dan tidak menyatakan untuk melaksanakan atau mengganti, sehingga ditegaskan bahwa hal tersebut adalah bagian dari sepuluh perbuatan bid’ah, karena tidak ada ketentuan dari para tabi’in ataupun dari para imam empat mazhab.[3]
Imam Taqiyuddin Abubakar yang merupakan pengikut mazhab Syafi’i menuliskan bahwa imam al-Ghazali mengatakan bahwa niat lebih pantas menjadi syarat daripada menjadi rukun shalat, karena niat harus dijaga dari awal hingga akhir shalat, maksudnya tidak ada yang merusak niat sampai selesai shalat.[4]
Selanjutnya imam Taqiyuddin Abubakar dengan mengutip perkataan Abu Syujak menerangkan bahwa niat adalah kehendak hati, sehingga orang yang ingin shalat harus mempunyai kehendak sebagai berikut:[5]

a.       Meniatkan untuk melakukan pekerjaan shalat agar dapat dibedakan antara shalat dan perbuatan atau pekerjaan lain.
b.      Menyebutkan niat dengan jelas shalat yang dikerjakan.
c.       Menyatakan kewajiban shalat di dalam niat.
Hasan bin Ahmad al-Kaf bahwa niat letaknya di dalam hati, sedangkan pelafalannya adalah sunnah.[6] Sehingga dari beberapa pendapat ulama mengenai niat dapat disimpulkan bahwa niat merupakan perbuatan hati, dan dalam pelaksanaannya apakah niat dilafalkan atau tidak menjadi perbedaan dalam beberapa ulama, tetapi pada dasarnya tetap menekankan bahwa niat merupakan rukun di dalam shalat.

2.      Takbiratul Ihram
Takbiratul Ihram adalah ucapan kalimat takbir sebagai tanda untuk mengawali shalat, yang penamaan tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah, “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.” Maksud dari haram di dalam Hadis tersebut adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat, dan dimaksud dengan halal adalah orang yang shalat diperbolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan setelah takbir, atau tanda berakhirnya shalat yaitu dengan mengucapkan salam.
Kalimat takbiratul ihram adalah “Allahu Akbar”, menurut Imammiyah, Maliki, dan Hanbali tidak boleh mengganti kalimat tersebut dengan kata-kata lain, sedangkan Syafi’i berpendapat boleh menambahkan alif dan lam pada kata “Akbar” sehingga menjadi “Allahu al-Akbar”, kemudian Hanafi membolehkan untuk mengganti dengan kata-kata lainnya seperti “Allah al-A’dzam” dan “Allah al-Ajall”.[7]

3.      Membaca Surah al-Fatihah
Dalam masalah makmum membaca al-Fatihah menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa makmum wajib membaca surah al-Fatihah di belakang imam dalam shalat yang sir (membaca dengan pelan, yaitu pada waktu djuhur dan ashar) atau jahar (membaca dengan suara keras, yaitu waktu maghrib, isya’, dan subuh), dan ketentuan tersebut berdasarkan pada Hadis Nabi sebagai berikut:[8]
قَالَ عُبَادَة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: لاَصَلاَةَ لِمَنْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ خَلْفَ اْلإِمَامِ (رواه البيحقى)
Artinya:   Ubadah berkata sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tidak (sah) shalat seseorang yang tidak membaca Fatihah di belakang imam.” (HR. Baihaqy)
Imam Hanafi menyatakan bahwa makmum tidak wajib mengikuti bacaan imam di dalam shalat yang sir ataupun yang jahar, bahkan menurut imam Hanafi bacaan makmum di belakang imam adalah perbuatan maksiat. Sedangkan Imamiyah menyatakan makmum tidak wajib mengikuti imam pada dua rakaat pertama, tetapi pada rakaat terakhir shalat maghrib dan dua rakaat terakhir pada shalat isya’, djuhur, dan ashar, tetap wajib untuk mengikuti imam. Imam Malik berpendapat mengenai membaca al-Fatihah di belakang makmum hanya wajib di dalam shalat sir dan tidak wajib pada shalat jahar.[9]
Menurut imam Syafi’i membaca al-Fatihah hukumnya wajib pada setiap rakaat tanpa ada perbedaan antara dua rakaat pertama dan dua rakaat terakhir. Menurut Imam Hanafi membaca al-Fatihah dalam shalat wajib tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Alquran diperbolehkan. Menurut Imam Malik membaca al-Fatihah harus pada setiap rakaat tanpa perbedaan, sependapat dengan imam Syafi'i, serta disunnahkan untuk membaca ayat-ayat Alquran setelah membaca al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama, begitu pula pendapat imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan menurut Imamiyah berpendapat bahwa membaca al-Fatihah hanya wajib pada dua rakaat yang pertama pada setiap shalat, dan tidak wajib pada rakaat yang lain, bahkan boleh memilih antara membacanya atau menggantinya dengan kalimat tasbih, sehingga orang yang shalat pada dua rakaat yang terakhir cukup membaca kalimat tasbih.[10]
Kemudian, pembahasan bacaan basmalah sebagai bagian dari surah al-Fatihah juga menjadi bahan perbedaan ulama mazhab, menurut imam Syafi'i bacaan basmalah merupakan bagian dari salah satu ayat di dalam surah al-Fatihah, sehingga wajib membacanya di dalam shalat, pada shalat sir dibaca dengan suara pelan, dan pada shalat jahar dibaca dengan suara keras.
Menurut imam Malik berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk sebagai bagian dari surah al-Fatihah, sehingga tidak wajib untuk membacanya di dalam shalat, meskipun berada pada shalat jahar atau sir, tidak juga dalam membaca surah lain atau surah sesudah al-Fatihah tetap tidak wajib untuk membacanya dengan suara pelan atau dengan suara keras.
Kemudian imam Hanafi berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat Alquran selain al-Fatihah, dan diturunkan sebagai pemisah antara surah-surah Alquran, sehingga dibaca pada saat membaca al-Fatihah pada tiap-tiap rakaat di dalam shalat dengan perlahan atau suara pelan, dan dipandang baik dibaca pada surah yang lainnya. Sedangkan imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa basmalah dibaca di dalam shalat dengan suara pelan, dan tidak disunnahkan untuk membacanya dengan nyaring.[11]
Adapun mengenai ucapan lafal “amîn” setelah membaca al-Fatihah di dalam shalat menurut jumhur ulama empat mazhab hukumnya adalah sunnah, tetapi menurut pendapat Imamiyah mengucapkan lafal tersebut hukumnya haram serta membatalkan shalat apabila diucapkan oleh imam atau makmum, karena dianggap sebagai bagian dari pembicaraan manusia, dan di dalam shalat tidak dibenarkan untuk mengucapkan kata-kata yang merupakan pembicaraan manusia.[12]

4.      Mengucapkan Salam
Mengucapkan salam menurut imam Syafi’i, imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal hukumnya adalah wajib, sedangkan menurut Imam Hanafi hukumnya tidak wajib, dan di dalam mazhab Imamiyah terjadi perbedaan pendapat antara kelompok pengikut Imamiyah yang menyatakan wajib dan sebagian hanya menyatakan sunnah.[13]

C.    Penutup
Setelah menguraikan pembahasan mengenai perbedaan pendapat dari para ulama mazhab mengenai hukum bacaan makmum di dalam shalat, dapat disimpulkan bahwa di antara perbedaan dan persamaan pendapat tersebut adalah merupakan hasil ijtihad para ulama tersebut dengan landasan berfikir untuk memberikan kemudahan terhadap pemahaman agama Islam, sesuai dengan keyakinan dan kemampuan dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan dapat diterima secara rasionalitas, sehingga menjadikan Islam adalah agama yang dapat diterima oleh akal.
Pembahasan singkat ini tidak mampu untuk mencukupi serta memenuhi harapan dalam upaya pemahaman secara mendalam, melainkan sebagai bentuk usaha memberikan kontribusi terhadap khazanah Islam dengan setitik pengetahuan yang masih memerlukan kritik dan saran demi kemajuannya. Maaf adalah kata yang dapat disampaikan sebagai bentuk pengakuan terhadap berbagai kesalahan dalam pembuatan, penulisan, atau penyampaian di dalam makalah ini, semoga makalah ini bukan sebagai batas akhir dalam pengkajian masalah yang serupa.

Footnote

[1]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, pent. Masykur A.B, dkk., dari judul asli, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Cetakan kesepuluh, Jakarta: Lentera Basritama, 2003, h. 102.

[2]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, pent. Samsuri Rifa’i, dkk., dari judul asli, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq: ‘Ardh wa Istidlal, Jakarta: Lentera Basritama, 2003, h. 102.

[3]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 102.

[4]Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al-Husaini, Kelengkapan Orang Shaleh,  pent. Syarifuddin Anwar dan Misbah Musthafa, dari judul asli, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Cetakan kedua, Surabaya: Bina Iman, 1995, h. 226.

[5]Ibid.

[6]Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf, at-Taqrîrât as-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah, Surabaya: Dâr al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 2006, h. 209.

[7]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 104-105.

[8]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh, Cet. 2, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, h. 75.


[9]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 138.

[10]Ibid., h. 108.


[11] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqh…, h. 82-88.

[12]Kata “Amin” hanya digunakan di dalam masyarakat, dan bukan merupakan kata-kata dari Alquran. Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 109.


[13]Ibid., h. 115.



DAFTAR PUSTAKA


Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqh, Cet. 2, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Husaini, Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad, Kelengkapan Orang Shaleh,  pent. Syarifuddin Anwar dan Misbah Musthafa, dari judul asli, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Cetakan kedua, Surabaya: Bina Iman, 1995.

Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad, at-Taqrîrât as-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah, Surabaya: Dâr al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, 2006.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, pent. Samsuri Rifa’i, dkk., dari judul asli, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq: ‘Ardh wa Istidlal, Jakarta: Lentera Basritama, 2003.

_______, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, pent. Masykur A.B, dkk., dari judul asli, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Cetakan kesepuluh, Jakarta: Lentera Basritama, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar