HUKUM BACAAN MAKMUM
DALAM
SHALAT BERJAMA’AH
A.
Pendahuluan
Rukun Islam yang kedua setelah
membaca kalimat syahadat adalah mengerjakan shalat, sehingga di dalam
ajaran Islam shalat merupakan pondasi yang harus dilaksanakan umat Islam,
selain sebagai pembentukan karakter individu dengan media shalat sebagai upaya
pendekatan terhadap Allah SWT selaku Pencipta, hal ini merupakan tahap lanjutan
dalam penilaian seseorang yang memeluk agama Islam.
Shalat adalah tuntutan di dalam
agama Islam yang merupakan perintah langsung dari Allah SWT melalui Rasulullah,
kemudian para ulama sepakat bahwa shalat dalam lima waktu sehari semalam adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam, tetapi dalam aplikasi shalat
berjama’ah khususnya bacaan makmum terdapat perbedaan dari para ulama fiqh,
hal ini disebabkan karena bacaan makmum yang mengikuti imam tidak ditetapkan
secara komprehensif sehingga dalam implementasinya memerlukan penjelasan lebih
lanjut.
Para ulama fiqh melakukan
reinterpretasi terhadap bacaan makmum yang telah diajarkan oleh Rasulullah
tanpa upaya untuk merubahnya, sehingga konklusi para ulama menjadi perbedaan
yang cukup signifikan dengan mempertahankan substansi pendapat masing-masing
sesuai dengan hasil ijtihad yang dilakukan, tetapi perbedaan yang kontroversial
antara para ulama tersebut bukan lambang perpecahan dari agama Islam, tetapi
sebagai gambaran demokratisasi Islam terhadap pemeluknya dalam mengeluarkan
pendapat.
Korelasi antara perbedaan pendapat
ulama mengenai bacaan makmum di dalam shalat berjama’ah dengan makalah ini
adalah sebagai bentuk upaya pemahaman dengan penguraian pendapat-pendapat para
ulama tersebut, sehingga selain dikarenakan rasa tertarik untuk pembahasan
secara mendalam untuk mengangkat permasalahan tersebut menjadi sebuah kajian
berbentuk tulisan, serta penyesuaian terhadap materi yang ditawarkan untuk
memenuhi tugas dalam mata kuliah Perbandingan Mazhab Fiqh.
B.
Pembahasan
1. Niat
Niat merupakan tujuan dalam suatu
perbuatan berdasarkan rasa taat dan patuh untuk mengikuti perintah-perintah
Allah, kemudian di dalam shalat niat merupakan pernyataan apakah shalat
tersebut fardhu (keharusan) atau sunnah (anjuran Nabi), sehingga
diartikan bahwa shalat sesuai dengan yang diniatkan. Para ulama mazhab sepakat
bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidak diminta atau tidak dianjurkan.[1]
Muhammad Jawad Mugniyah dalam
bukunya Fiqih Imam Ja’far Shadiq menuliskan bahwa niat adalah motivasi
melaksanakan shalat untuk taat kepada Allah, mengenai niat tersebut adalah
bagian dari shalat atau syarat shalat bukan merupakan hal yang penting, karena
shalat tetap wajib disebabkan niat adalah rukun di dalam shalat, dan akan
menyebabkan batalnya shalat apabila tidak dilakukan secara sengaja atau karena
lupa.
Selanjutnya dijelaskan karena niat
adalah perbuatan hati, maka tidak wajib melafalkan niat tersebut, dan wajib
untuk menentukan niat agar mencegah tidak jelasnya tujuan dari yang diniatkan,
dan tidak wajib berniat untuk shalat wajib atau sunnah, dikarenakan
tidak ada dalil yang merujuk mengenai kewajiban dalam hal tersebut.[2]
Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa
Rasulullah di dalam shalat beliau langsung mengucapkan takbir tanpa
mengucapkan apapun sebelumnya dan tidak melafalkan niat, dan tidak meniatkan
shalat tertentu dengan arah tertentu kemudian menyebutkan jumlah rakaat sebagai
imam atau makmum, dan tidak menyatakan untuk melaksanakan atau mengganti,
sehingga ditegaskan bahwa hal tersebut adalah bagian dari sepuluh perbuatan bid’ah,
karena tidak ada ketentuan dari para tabi’in ataupun dari para imam
empat mazhab.[3]
Imam Taqiyuddin Abubakar yang
merupakan pengikut mazhab Syafi’i menuliskan bahwa imam al-Ghazali mengatakan
bahwa niat lebih pantas menjadi syarat daripada menjadi rukun shalat, karena
niat harus dijaga dari awal hingga akhir shalat, maksudnya tidak ada yang
merusak niat sampai selesai shalat.[4]
Selanjutnya imam Taqiyuddin Abubakar
dengan mengutip perkataan Abu Syujak menerangkan bahwa niat adalah kehendak
hati, sehingga orang yang ingin shalat harus mempunyai kehendak sebagai
berikut:[5]
a. Meniatkan untuk
melakukan pekerjaan shalat agar dapat dibedakan antara shalat dan perbuatan
atau pekerjaan lain.
b. Menyebutkan niat
dengan jelas shalat yang dikerjakan.
c. Menyatakan
kewajiban shalat di dalam niat.
Hasan bin Ahmad al-Kaf bahwa niat
letaknya di dalam hati, sedangkan pelafalannya adalah sunnah.[6]
Sehingga dari beberapa pendapat ulama mengenai niat dapat disimpulkan bahwa
niat merupakan perbuatan hati, dan dalam pelaksanaannya apakah niat dilafalkan
atau tidak menjadi perbedaan dalam beberapa ulama, tetapi pada dasarnya tetap
menekankan bahwa niat merupakan rukun di dalam shalat.
2. Takbiratul
Ihram
Takbiratul Ihram adalah ucapan
kalimat takbir sebagai tanda untuk mengawali shalat, yang penamaan tersebut
didasarkan pada sabda Rasulullah, “Kunci shalat adalah bersuci, dan yang
mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah
takbir, dan penghalalnya adalah salam.” Maksud dari haram di dalam Hadis
tersebut adalah berbicara dan semua yang tidak berhubungan dengan shalat, dan
dimaksud dengan halal adalah orang yang shalat diperbolehkan melakukan hal-hal
yang diharamkan setelah takbir, atau tanda berakhirnya shalat yaitu dengan
mengucapkan salam.
Kalimat takbiratul ihram adalah “Allahu
Akbar”, menurut Imammiyah, Maliki, dan Hanbali tidak boleh mengganti
kalimat tersebut dengan kata-kata lain, sedangkan Syafi’i berpendapat boleh menambahkan
alif dan lam pada kata “Akbar” sehingga menjadi “Allahu
al-Akbar”, kemudian Hanafi membolehkan untuk mengganti dengan kata-kata
lainnya seperti “Allah al-A’dzam” dan “Allah al-Ajall”.[7]
3. Membaca
Surah al-Fatihah
Dalam masalah makmum membaca
al-Fatihah menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa
makmum wajib membaca surah al-Fatihah di belakang imam dalam shalat yang sir
(membaca dengan pelan, yaitu pada waktu djuhur dan ashar) atau jahar
(membaca dengan suara keras, yaitu waktu maghrib, isya’, dan subuh),
dan ketentuan tersebut berdasarkan pada Hadis Nabi sebagai berikut:[8]
قَالَ عُبَادَة أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ قَالَ: لاَصَلاَةَ لِمَنْ يَقْرَأ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ خَلْفَ
اْلإِمَامِ (رواه البيحقى)
Artinya:
Ubadah berkata sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tidak (sah) shalat
seseorang yang tidak membaca Fatihah di belakang imam.” (HR. Baihaqy)
Imam Hanafi menyatakan bahwa makmum
tidak wajib mengikuti bacaan imam di dalam shalat yang sir ataupun yang jahar,
bahkan menurut imam Hanafi bacaan makmum di belakang imam adalah perbuatan
maksiat. Sedangkan Imamiyah menyatakan makmum tidak wajib mengikuti imam pada
dua rakaat pertama, tetapi pada rakaat terakhir shalat maghrib dan dua
rakaat terakhir pada shalat isya’, djuhur, dan ashar, tetap wajib untuk
mengikuti imam. Imam Malik berpendapat mengenai membaca al-Fatihah di belakang
makmum hanya wajib di dalam shalat sir dan tidak wajib pada shalat jahar.[9]
Menurut imam Syafi’i membaca
al-Fatihah hukumnya wajib pada setiap rakaat tanpa ada perbedaan antara dua
rakaat pertama dan dua rakaat terakhir. Menurut Imam Hanafi membaca al-Fatihah
dalam shalat wajib tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Alquran
diperbolehkan. Menurut Imam Malik membaca al-Fatihah harus pada setiap rakaat
tanpa perbedaan, sependapat dengan imam Syafi'i, serta disunnahkan untuk
membaca ayat-ayat Alquran setelah membaca al-Fatihah pada dua rakaat yang
pertama, begitu pula pendapat imam Ahmad bin Hanbal.
Sedangkan menurut Imamiyah
berpendapat bahwa membaca al-Fatihah hanya wajib pada dua rakaat yang pertama
pada setiap shalat, dan tidak wajib pada rakaat yang lain, bahkan boleh memilih
antara membacanya atau menggantinya dengan kalimat tasbih, sehingga
orang yang shalat pada dua rakaat yang terakhir cukup membaca kalimat tasbih.[10]
Kemudian, pembahasan bacaan basmalah
sebagai bagian dari surah al-Fatihah juga menjadi bahan perbedaan ulama mazhab,
menurut imam Syafi'i bacaan basmalah merupakan bagian dari salah satu
ayat di dalam surah al-Fatihah, sehingga wajib membacanya di dalam shalat, pada
shalat sir dibaca dengan suara pelan, dan pada shalat jahar
dibaca dengan suara keras.
Menurut imam Malik berpendapat bahwa
basmalah tidak termasuk sebagai bagian dari surah al-Fatihah, sehingga
tidak wajib untuk membacanya di dalam shalat, meskipun berada pada shalat jahar
atau sir, tidak juga dalam membaca surah lain atau surah sesudah
al-Fatihah tetap tidak wajib untuk membacanya dengan suara pelan atau dengan
suara keras.
Kemudian imam Hanafi berpendapat
bahwa basmalah termasuk ayat Alquran selain al-Fatihah, dan diturunkan
sebagai pemisah antara surah-surah Alquran, sehingga dibaca pada saat membaca
al-Fatihah pada tiap-tiap rakaat di dalam shalat dengan perlahan atau suara
pelan, dan dipandang baik dibaca pada surah yang lainnya. Sedangkan imam Ahmad
bin Hanbal menyatakan bahwa basmalah dibaca di dalam shalat dengan suara
pelan, dan tidak disunnahkan untuk membacanya dengan nyaring.[11]
Adapun mengenai ucapan lafal “amîn”
setelah membaca al-Fatihah di dalam shalat menurut jumhur ulama empat mazhab
hukumnya adalah sunnah, tetapi menurut pendapat Imamiyah mengucapkan
lafal tersebut hukumnya haram serta membatalkan shalat apabila diucapkan oleh
imam atau makmum, karena dianggap sebagai bagian dari pembicaraan manusia, dan
di dalam shalat tidak dibenarkan untuk mengucapkan kata-kata yang merupakan
pembicaraan manusia.[12]
4. Mengucapkan
Salam
Mengucapkan salam menurut imam
Syafi’i, imam Malik, dan imam Ahmad bin Hanbal hukumnya adalah wajib, sedangkan
menurut Imam Hanafi hukumnya tidak wajib, dan di dalam mazhab Imamiyah terjadi
perbedaan pendapat antara kelompok pengikut Imamiyah yang menyatakan wajib dan
sebagian hanya menyatakan sunnah.[13]
C.
Penutup
Setelah menguraikan pembahasan
mengenai perbedaan pendapat dari para ulama mazhab mengenai hukum bacaan makmum
di dalam shalat, dapat disimpulkan bahwa di antara perbedaan dan persamaan
pendapat tersebut adalah merupakan hasil ijtihad para ulama tersebut dengan
landasan berfikir untuk memberikan kemudahan terhadap pemahaman agama Islam,
sesuai dengan keyakinan dan kemampuan dalam menjalankan perintah-perintah Allah
dan dapat diterima secara rasionalitas, sehingga menjadikan Islam adalah agama
yang dapat diterima oleh akal.
Pembahasan singkat ini tidak mampu
untuk mencukupi serta memenuhi harapan dalam upaya pemahaman secara mendalam,
melainkan sebagai bentuk usaha memberikan kontribusi terhadap khazanah Islam
dengan setitik pengetahuan yang masih memerlukan kritik dan saran demi
kemajuannya. Maaf adalah kata yang dapat disampaikan sebagai bentuk pengakuan
terhadap berbagai kesalahan dalam pembuatan, penulisan, atau penyampaian di
dalam makalah ini, semoga makalah ini bukan sebagai batas akhir dalam pengkajian
masalah yang serupa.
Footnote
[1]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, pent. Masykur A.B,
dkk., dari judul asli, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, Cetakan
kesepuluh, Jakarta: Lentera Basritama, 2003, h. 102.
[2]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih
Imam Ja’far Shadiq, pent. Samsuri Rifa’i, dkk., dari judul asli, Fiqh
al-Imam Ja’far ash-Shadiq: ‘Ardh wa Istidlal, Jakarta: Lentera Basritama,
2003, h. 102.
[3]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab…, h. 102.
[4]Imam Taqiyuddin Abubakar bin
Muhammad al-Husaini, Kelengkapan Orang Shaleh, pent. Syarifuddin
Anwar dan Misbah Musthafa, dari judul asli, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayat
al-Ikhtishar, Cetakan kedua, Surabaya: Bina Iman, 1995, h. 226.
[5]Ibid.
[6]Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaf,
at-Taqrîrât as-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah, Surabaya: Dâr al-‘Ulûm
al-Islâmiyyah, 2006, h. 209.
[7]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab…, h. 104-105.
[8]M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab
Fiqh, Cet. 2, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000, h. 75.
[9]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh
Lima Mazhab…, h. 138.
[10]Ibid., h. 108.
[11] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab
Fiqh…, h. 82-88.
[12]Kata “Amin” hanya digunakan
di dalam masyarakat, dan bukan merupakan kata-kata dari Alquran. Lihat Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab…, h. 109.
[13]Ibid., h. 115.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazhab Fiqh, Cet.
2, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Husaini, Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad, Kelengkapan
Orang Shaleh, pent. Syarifuddin Anwar dan Misbah Musthafa, dari judul
asli, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayat al-Ikhtishar, Cetakan kedua,
Surabaya: Bina Iman, 1995.
Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad, at-Taqrîrât
as-Sadîdah fî al-Masâ’il al-Mufîdah, Surabaya: Dâr al-‘Ulûm al-Islâmiyyah,
2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Imam Ja’far Shadiq,
pent. Samsuri Rifa’i, dkk., dari judul asli, Fiqh al-Imam Ja’far ash-Shadiq:
‘Ardh wa Istidlal, Jakarta: Lentera Basritama, 2003.
_______, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali, pent. Masykur A.B, dkk., dari judul asli, al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Khamsah, Cetakan kesepuluh, Jakarta: Lentera Basritama,
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar